Friday, 24 October 2014

Kelahiran bayi adalah amanat Allah SWT kepada orang tua.

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." 
(Q.S. Ath Taghabun :15)

Kelahiran anak di dalam sebuah keluarga memang menceriakan dan mengembirakan. Sejajar dengan fitrah manusia yang memiliki kasih sayang dan ingin disayangi, anak-anak adalah pembawa kegembiraan. Selain itu anak adalah anugerah dari Allah SWT yang diamanahkan kepada para orang tua yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya agar mereka bisa mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Dengan amanah itu, para orangtua memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang shaleh atau shalehah. Bila sukses menjadikan semua anaknya menjadi manusia yang taat kepada Allah, maka orangtua akan memperoleh kemuliaan di dunia. Bahkan, kelak di alam kubur ia akan mendapatkan ganjaran. Karena pahala yang terus mengalir dari amal shaleh dan do'a yang dipanjatkan anak-anaknya. Dalam keadaan seperti ini, anak-anak adalah investasi menggiurkan dan menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda di kemudian hari. Rasulullah SAW bersabda :“Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim) 

Sebaliknya, kesalahan dalam mendidik anak, akan menghantarkan orangtua kepada kehidupan yang hina. Anak durhaka, tidak taat kepada Allah dan rasulnya, akan menjadi penyebab hancurnya nama baik keluarga, masyarakat, bahkan sebuah negara. Dan di pengadilan akhirat, Allah SWT akan menuntutnya karena menyebabkan keturunannya menjadi manusia yang durhaka kepada-Nya. Imam Al Ghazali mengatakan, “Anak merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan mutiara yang masih polos tanpa ukiran dan gambar. Ia siap diukir dan cenderung kepada apa saja yang mempengaruhinya. Jika ia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat kebaikan, ia kan tumbuh menjadi anak yang baik. Dengan begitu, kedua orang tuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Demikian juga guru dan pendidiknya. Sedangkan apabila ia dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti membiarkan binatang ternak, maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanya pun akan dipikul oleh orang yang bertanggung jawab untuk mengurus dan walinya.  

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?” kemudian Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini: (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Hukum-hukum) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar. Tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui (Q.S.Ar Rum:30)  

Berdasarkan ini, Abul ‘Ala mengatakan melalui syairnya: Anak-anak kita akan tumbuh menurut apa yang dibiasakan oleh orang tuanya. Anak tidaklah menjadi tercela oleh akalnya namun orang-orang dekatnya yang membuatnya hina. Jika rumah mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan anak, maka untuk mewujudkan tujuan diatas rumah harus diliputi oleh segala hal yang bisa menanamkan ruh keagamaan dan keutamaan terhadap jiwa anak. Ini artinya, orangtua memiliki peran utama dalam menentukan masa depan anak-anaknya. Termasuk keyakinan yang akan dipegangnya. Tidak jarang seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam), akibat kedua orangtuanya tidak memberikan pendidikan agama yang benar kepadanya. Oleh karena itu, pendidikan terhadap anak (tarbiyatul aulad) dalam ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan. Sesibuk apapun orangtua, pendidikan terhadap anak tidak boleh diabaikan. Setinggi apapun jabatan orangtua, tanggung jawab tetap ada pada dirinya, bukan pada pendidik yang dibayarnya. Rasulullah SAW. bersabda: "Hendaklah kamu pastikan anak-anakmu belajar agama dan hendaklah kamu baguskan akhlaknya."  

Mendidik anak yang sesuai ajaran Islam memang tidak mudah. Namun, menjadikan anak agar sesuai dengan harapan orangtua, juga tidak sulit. Bila kita mengembalikan teknik mendidik anak kepada konsep mendidik yang telah diajarkan Rasulullah, maka akan lebih mudah lagi. Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, kesabaran, dan keistiqmahan dalam mencari ilmu pendidikan anak dan mengamalkannya. Semoga Allah SWT memudahkan dan meringankan tanggung jawab kita dalam mengemban amanah pendidikan anak menuju terwujudnya anak yang sholeh dan sholehah. 

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam 

Sighat Taklik /Taklik Talak melindungi hak isteri dalam keluarga

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Pernikahan adalah salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan Hadits. Dalam melangsungkan pernikahan, peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi peraturan agama Islam harus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunya. Pernikahan dalam Islam tidak semata-mata hanya sebagai hubungan antara suami dan isteri, akan tetapi lebih dari itu agama Islam memandang perkawinan merupakan suatu perbuatan yang mempunyai nilai ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan setiap tindakan yang dilakukan masing-masing pasangan ketika menunaikan hak dan kewajibannya dalam suatu perkawinan adalah perbuatan yang bernilai kebaikan dan keburukan.

Hak dan kewajiban suami isteri telah ditegaskan dalam Al Qur’an dan Hadits yang kemudian dikhususkan pembahasannya dalam Fikih Munakahat dan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pengaturan hak dan kewajiban suami isteri sedemikian rupa ditujukan agar suami isteri dapat menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang menjadi basis utama bagi bangunan suatu masyarakat. Akan tetapi, hak dan kewajiban suami atau isteri itu terkadang tidak dilakukan sebagaimana mestinya yang dalam konteks ajaran Islam yang menyebabkan salah satu pihak suami isteri terdzolimi dalam keluarga.

SIGHAT TAKLIK /TAKLIK TALAK.
Sighat taklik adalah suatu janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi akad nikah di depan penghulu, isteri, orang tua / wali, saksi-saksi dan para hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut. Sighat Ta'lik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan sah secara ketentuan hukum dan Agama Islam.

Sighat Taklik menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “ Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Kata taklik talak terdiri dari dua kata, yakni taklik dan talak. Kata taklik dari kata arab ‘allaqa yu‘alliqu ta‘lîqan (Yunus,tt), yang berarti menggantungkan. Sementara kata talak dari kata arab tallaqa yutalliqu tatlîqan, yang berarti mentalak, menceraikan atau kata jadi ’perpisahan’. Maka dari sisi bahasa, taklik talak berarti talak yang digantungkan. Artinya, terjadinya talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan isteri yang digantungkan terhadap sesuatu. Adapun diantara bunyi taklik talak tersebut sebagai berikut :

Sesudah akad nikah, saya (Nama Mempelai Pria) bin (Nama Ayah Mempelai Pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (Nama Mempelai Wanita) binti (Nama Ayah Mempelai Wanita) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut syariat agama Islam.
Selanjutnya saya membaca sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut. 2. Atau saya tiada memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya. 3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu, 4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya,
Kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.Kepada pengadilan tersebut tadi kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan Ibadah Sosial.

(Nama Kota), (Tanggal) Suami,

(Tandatangan) (Nama Jelas Mempelai Pria)

Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah mohon mempelai laki-laki mengucapkan taklik thalaq atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya setuju agar taklik thalaq dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri taklik thalaq di hadapan istri sebagaimana bunyi tersebut diatas dalam shigat taklik.

Sighat taklik meski bukan merupakan syarat namun Departemen Agama menganjurkan kepada pejabat daerah agar dalam pernikahan itu dibacakan taklik thalaq (Maklumat Kementrian Agama No. 3 tahun 1953). Sighat taklik dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi istri dari sikap kesewenang-wenangan suami, jika istri tidak rela atas perlakuan suami maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya syarat taklik talaq yang disebutkan dalam sighat taklik.

Semoga Bermanfaat. Wallahu 'Alam 


Pernikahan moqodimah membangun keluarga bahagia dalam naungan kertidhoan Allah SWT

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an :

Hai orang-orang beriman ! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari [kemungkinan siksaan] api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah para malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S. At Tahrim : 6).

Keluarga Islam adalah keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taala, yang mana pemahaman asas anggotanya adalah hanya mencari keredhaan Allah Subhanahu wa Taala, dan yang di atur oleh peraturan-Nya. Setiap anggota keluarga Islam ini menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan peraturan Allah Subhanahu wa Taala. Ketaatan ini dimulakan dari sejak awal, iaitu dari sejak menentukan kriteria pasangan hidup, proses memilih, khitbah (meminang), pernikahan, serta proses menjalani kehidupan rumahtangga, iaitu sentiasa berada di jalan kebenaran, jalan Allah Subhanahu wa Taala. Oleh karena itu membangun keluarga merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan yang diawali dengan pernikahan yang benar dan baik sesuai dengan tuntunan syari’at Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga selain sah secara syariat Islam juga mendapat jaminan perlindungan negara.

Pernikahan adalah hal mendasar dalam membentuk sebuah keluarga Islami. Tanpa pernikahan, mustahil sebuah keluarga akan mencapai kebahagiaan-kebahagiaan yang dijanjikan Islam. Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah Swt yang menyebarkan agama Islam di bumi ini, memuji institusi keluarga sebagai bagian dari sunah beliau. Dengan demikian, sebuah pernikahan harus betul-betul direncanakan dengan baik dan matang. Termasuk dalam hal ini adalah pemilihan pasangan hidup, yang bukan hanya sekedar atas pertimbangan kecantikan/ketampanan atau pekerjaan dan status sosial ekonominya, tetapi juga agama dan kualitas keluarga tersebut.
Rasulullah SAW bersabda :
Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia. (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima) Hadits di atas merupakan hadits shahih yang telah diriwayat oleh Bukhari, Muslim dan Imam yang lima sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Bulugh al-Maram.

Islam memberikan perhatian khusus kepada pernikahan sebagai sebuah ikatan suci untuk mencapai kebahagiaan dan melestarikan generasi manusia. Oleh karena itu Islam mendorong seseorang untuk membentuk rumah tangga yang diawali dengan melakukan pernikahan. Selain itu Islam juga menyinggung beberapa filosofi pernikahan yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, diantaranya :
  1. 1.        Pernikahan kunci ketenangan dan kedamaian
Pernikahan akan menghadirkan ketenangan, karena laki-laki dan perempuan adalah pelengkap dan pemberi rasa bahagia satu sama lain. Ia tidak akan sempurna tanpa kehadiran pasangannya dan setiap yang kekurangan akan terdorong untuk mencari kesempurnaan. Begitu juga setiap yang membutuhkan akan memiliki kecenderungan alamiah untuk memenuhinya. Oleh karena itu, wajar jika ada daya tarik yang kuat dan alamiah antara seseorang dengan pelengkapnya dan ia akan merasa damai jika sudah meraihnya.
Allah Swt berfirman: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa tenang.”  
(Q.S. Al-A’raf ayat 189)
Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari diri yang satu dan pernikahan sebagai kunci ketenangan. Dalam surat Ar-Ruum ayat 21, Allah Swt berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadnya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” 
(Q.S. AR Rum : 21)

Dalam pernikahan, manusia akan memperoleh ketenangan dan kedamaian jasmani dan ruhani serta ketenangan dan kedamaian individual dan sosial. Sementara stabilitas kehidupan seseorang akan terganggu dengan meninggalkan pernikahan dan tidak tersalurkannya kebutuhan biologis. Orang yang belum membentuk rumah tangga juga kurang begitu peduli dengan tanggung jawab sosial dan sering terlibat dalam tindakan kriminal. Namun, mereka yang sudah berumah tangga akan merasa lebih bertanggung jawab dan lebih percaya diri, seolah-olah mereka menemukan jati diri baru. Setelah menyinggung masalah ketenangan, al-Quran memaparkan prinsip mawaddah dan rahmah. Pada dasarnya, unsur ini adalah perekat dan penyatu masyarakat. Mawaddah dan rahmah antara suami-istri akan menciptakan nuansa kedamaian dan ketenangan.

  1. 2.        Pernikahan menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia
Menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia adalah salah satu masalah penting dalam budaya Islam. Islam melarang segala sesuatu yang akan menjatuhkan harga diri dan kemuliaan seseorang. Dan sebaliknya, mengajurkan sesuatu yang menyebabkan terjaganya kemuliaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT :“Istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan engkau juga pakaian bagi mereka.” (Q.S. Al Baqarah 187)

Suami-istri ibarat pakaian satu sama lain dan akan menutupinya dari segala hal yang menjatuhkan kehormatan dan harga diri. Mereka saling menjaga diri agar tidak terseret ke dalam lembah dosa. Suami-istri harus saling menjaga rahasia dan menjadi hiasan bagi sesama. Pakaian selain berfungsi sebagai hiasan, juga penutup rahasia keluarga agar aman dari akses orang asing. Mereka juga dianjurkan untuk berupaya menyelesaikan problema-problema rumah tangga secara tertutup, karena al-Quran menilai hubungan rumah dan keluarga sebagai perjanjian yang kuat dan tidak boleh menodainya dengan berbagai alasan, sebagaimana Firman Allah SWT :“Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS: An-Nisaa:21).

  1. 3.        Pernikahan merupakan pintu menuju keberkahan
Pada dasarnya, kebanyakan laki-laki dan perempuan menghindari menerima tanggung jawab pernikahan dengan bermacam alasan seperti, kemiskinan dan ketidakmampuan finansial. Namun, al-Quran secara jelas mengingatkan bahwa pintu menuju rezeki dan berkah adalah pernikahan, sebagaimana firman Allah SWT :“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(Q.S.An-Nuur 32).

Ayat tersebut tidak hanya mengajak kedua orang tua untuk mempersiapkan mukaddimah pernikahan putra-putrinya, tapi juga menyeru siapa saja yang mampu untuk saling membantu. Jika ada kekhawatiran terkait masalah ekonomi, Allah Swt akan menganugerahkan karunia-Nya kepada mereka. Orang-orang yang masih sendiri kurang merasa bertanggung jawab dan tidak memanfaatkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh pendapatan halal. Akan tetapi setelah berumah tangga, mereka akan menjadi seorang pribadi sosial dan merasa bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Mereka akan memanfaatkan seluruh kapasitasnya dan mengambil inisiatif untuk mengatasi berbagai problema hidup.

  1. 4.        Pernikahan untuk Kelanjutan dan kelestarian generasi manusia
Kebutuhan-kebutuhan yang didasari oleh syahwat sebagai faktor kelanjutan hidup manusia salah satunya pernikahan. Allah Swt telah menempatkan sebuah penggerak dalam struktur psikologi manusia, yang akan mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam kitab Tauhid Mufaddhal, Imam Shadiq as berkata: “Renungkanlah aktivitas-aktivitas manusia mulai dari makan, tidur, dan menyalurkan kebutuhan biologis serta hal-hal lain yang sudah diatur. Sesungguhnya Allah Swt telah menempatkan kekuatan penggerak dalam diri manusia. Kekuatan itu akan mendorong mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.” 

  1. 5.        Pernikahan menyehatkan mental dan menjaga manusia dari dosa
Kebutuhan biologis merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan pada estetika, kasih sayang dan cinta. Naluri kebinatangan akan membawa manfaat bagi manusia selama disalurkan secara benar, proposional, dan legal, namun akan tergolong sejenis penyakit jika bersikap berlebihan. Kini, para ilmuan menemukan berbagai jenis penyakit akibat menuruti keinginan hawa nafsu dan menyalurkannya dengan cara-cara yang tidak benar. Islam mengadopsi dua cara untuk menjaga kesehatan mental seseorang. Jalan pertama adalah pernikahan. Sementara cara kedua adalah menerapkan batasan-batasan tertentu untuk mencegah pergaulan bebas, yang dapat meruntuhkan nilai-nilai dan menghancurkan sebuah bangsa.
Rasulullah SAW bersabda : "Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menyeru untuk menikah bagi para pemuda yang sudah mampu, bukan orang dewasa, bukan pula orang tua. Seruan tersebut tidak disertai indikasi mewajibkan karena menyeru para pemuda yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan sebuah pernikahan. 

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam
Semoga Allah SWT memberikan kepada kita kehidupan keluarga yang bahagia sejahtera dalam naungan keridhaan-Nya. Amiiin.

Fenomena Nikah Siri Dalam Negara Hukum Indonesia

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Perkawinan dalam Islam disebut pernikahan. Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan dalam Islam dispesialisasikan sebagai sebuah bentuk ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena demikian pentingnya perkawinan atau pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh karena itu keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).

Namun, pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada - bahkan cukup banyak - di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, atau nikah siri dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu.

NIKAH SIRRI
Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kosa kata yaitu “nikah”dan “sirri”. Nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan. Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia. Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dimeriahkan dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.

Adapun nikah siri yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan itu dilakukan oleh seseorang yang mampu secara ekonomi, akan tetapi karena alasan tidak mau repot dengan segala macam urusan administrasi dan birokrasi sehingga atau karena alasan lain, maka ia lebih memilih nikah sirri saja.

FAKTOR PENYEBAB NIKAH SIRI
Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Sebut saja kasus nikah sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut dan kasus nikah sirri Syekh Puji beberapa tahun silam. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya, yang secara umum nikah siri yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa factor, antara lain :

a. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum menyadari dan memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka. Atau mungkin mereka menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat. Barangkali pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi, belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut. Padahal pencatatan perkawinan yang merupakan perintah undang-undang itu sesungguhnya mempunyai tujuan penting, yakni proses dokumentasi atas perbuatan hukum perkawinan itu sendiri sehingga kemudian akan memberikan perlindungan hukum bagi suami isteri yang bersangkutan beserta anak turunnya di kemudian hari, sehingga dimulai dari terbentuknya keluarga sebagai unit masyarakat terkecil yang tertib hukum akan tercipta kehidupan masyarakat bangsa yang madani.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah dan kasus pernikahan sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut, sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan media massa tersebut, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji maupun Aceng Fikri yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, dalam kasus pernikahan sirri Syekh Puji, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun calon isteri tersebut masih di bawah umur menurut undang-undang perkawinan.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh masyarakat, biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji dan Aceng Fikri adalah tepat agar tidak menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum dalam sebuah Negara hukum yang bernama Indonesia.

c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, azas pokok dari sahnya perkawinan  tercantum dalam ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas dan ambigu. Itulah sebabnya revisi UU Perkawinan  sudah saatnya dilakukan secepatnya. Karena ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya. Hal tersebut juga menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.

d. Ketatnya Izin Poligami
Perkawinan di Indonesia menganut azas monogamy (UU No.1/1974), akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat, sehingga dengan sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu. Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

KEDUDUKAN NIKAH SIRI DALAM SEBUAH NEGARA HUKUM

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak dapat memperoleh akte kelahiran dan seterusnya. Dengan kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.

Peraturan perundang-undangan menentukan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat dan dicatat dalam register yang disediakan untuk itu. Keharusan dilaksanakan di hadapan pejabat dan dicatat dikandung maksud agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum, sehingga setiap warga negara yang melangsukan perkawinan selain sah secara syariat Islam juga mendapat perlindungan hukum negara. Perkawinan merupakan awal terbentuknya unit keluarga terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk bagi generasi masa depan. 

Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam

Konsep Pernikahan Menurut Islam

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI


Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan dalam Islam, walaupun masalah tersebut nampak kecil. Itulah Islam, agama Rahmatan Lil ‘Alamin yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah pernikahan, Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga memperlakukannya kala resmi menjadi pendamping hidup, penyejuk hati. Begitu pula Islam mengajarkan kita bagaimana mewujudkan sebuah resepsi pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.


Pernikahan merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah SAW mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.

Pernikahan merupakan jalan fitrah manusia yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.

HUKUM PERNIKAHAN.
Bagaimana Kedudukan Perkawinan dalam Islam ?
  1. Mubah /Boleh yaitu kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan.
  2. Sunat yaitu kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
  3. Wajib yaitu kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon isterinya.
  4. Makruh yaitu kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
  5. Haram yaitu kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah.

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
  1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

3. Untuk Menegakkan rumah tangga yang Islami

Al-Qur’an menyebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Q.S. Al-Baqarah : 229)

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (QS. Al-Baqarah : 230).

Sebaliknya dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya dan menegakkan hokum di dalam rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.

Hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”

5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

Diantara tujuan perkawinan adalah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam sebagaimana firman Allah SWT : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”

Hal yang terpenting dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. 

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam. 

Memetik Hikmah Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
 “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.  dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.( Q.S. An Nahl : 97 ) 

Melalui moment Bulan Muharom 1435 H, kiranya kita perlu mengenang kembali sejarah perjuangan Rasulullah SAW untuk memperkuat iman dan ketaqwaan kita serta semangat berjihad di jalan Allah SWT.

Adalah Rasulullah SAW, di dalam menyampaikan misi kerasulan dan dakwah Islamiyah bersama sahabat banyak mengalami rintangan dan ancaman. Kaum kafir Quraisy sengaja merintangi Rasulullah SAW dengan berbagai cara. Mereka menghina, mencaci, menyiksa para sahabat beliau, bahkan sampai mengancam akan membunuh beliau. Semua itu dilancarkan untuk menghalangi dan menghentikan dakwah beliau dan agar mereka yang telah masuk Islam kembali kepada ajaran nenek moyang dan menyembah berhala.

Namun demikian dengan berbagai rintangan, bujuk rayu sampai ancaman yang dilancarkan terhadap Rasulullah dan para sahabatnya tidak mempengaruhi semangat mereka dalam memperjuangkan agama. Bahkan semakin banyak rintangan semakin kuat dan bertambah pengikut ajaran Islam yang di dakwahkan oleh Rasulullah SAW.
Dari hari ke hari kekejaman itu semakin dasyat hingga mencapai puncaknya, mereka sepakat untuk menangkap dan membunuh Rasulullah SAW. Dalam keadaan genting itulah Rasulullah SAW mendapat perintah  hijrah bersama para sahabat menuju kota yatsrib , yang akhirnya dikenal dengan kota Madinah.

Hijrah Rasulullah SAW merupakan peristiwa penting dan menjadi tonggak perjuangan umat Islam selanjutnya. Mereka tidak hanya dikagumi oleh kawan tapi bahkan juga disegani oleh lawan. Peristiwa hijrah akan tetap relevan  dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu sekarang ataupun yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa hijrah memiliki makna yang penting untuk dijadikan pijakan dalam medan perjuangan. Diantara hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa hijrah yang monumental itu, ialah :

Pertama : Peristiwa hijrah merupakan perjalanan mempertahankan keimanan
Iman sangat penting dalam mengarungi kehidupan ini, sebab boleh saja seseorang berkeinginan untuk mencapai sesuatu , tetapi segala sesuatu pada akhirnya yang menentukan adalah Allah SWT. Oleh karena itu kalau dalam perjalanan hidup ini kita mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan Islam menmgajarkan kepada kita agar bersabar, dan sebaliknya apabila kita mendapatkan sesuatu yang menyenangkan kita harus bersyukur kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menyatakan bahwa amat mengagumkan perihal orang-orang yang beriman  itu segala sesuatu berakhir dengan nilai baik baginya yaitu apabila dalam kehidupannya mengalami sesuatu yang menyenangkan ia bersyukur sebaliknya apabila mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan maka ia senantiasa bersabar.

Kedua : Hijrah merupakan perjalanan ibadah.
Pada saat terjadi hijrah, agaknya dikalangan para sahabat terdapat perbedaan motivasi, sehingga Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niatnya dan bagi orang menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul –Nya, maka hijrahnya pada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk kesenangan dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dihijrahi.” (H.R. Muslim)
Oleh sebab itu, semangat ibadah inilah yang harus menjiwai setiap kali kita menyambut dan memperingati tahun baru hijriyah serta menjiwai segala amal ibadah-ibadah kita sehingga benar-benar diterima oleh Allah SWT.

Ketiga : Hijrah adalah Perjalanan ukhuwah.
Kita telah mengetahui bagaimana penduduk madinah yang dikenal dengan sahabat Anshar menyambut kedatangan orang Makkah (Kaum Muhajirin) sebagai saudara. Kemudian mereka bergaul dalam suasana Ukhuwah yang berlandaskan satu keyakinan bahwa semua manusia berasal dari Nabi Adam AS yang diciptakan dari tanah. Maka bersatullah orang-orang Muhajirin dengan orang-orang Anshar sebagai saudara yang diikiatoleh akidah Islamiyah.

Oleh sebab itu, patutlah kaum Muhajirin dan kaum Anshar itu mendapat jaminan dari Allah akan masuk surga sebagaimana yang telah diabadikan dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an : “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. At Taubah : 100)

Semoga melalui tulisan yang singkat ini kita dapat meneladani dan mengambil pelajaran yang berharga dari peristiwa hijrah itu. Sehingga keimanan kita semakin nkuat dan semangat perjuangan kita di jalan Allah tidak pernah luntur dan putus asa. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A'lam

Lima Modal Memasuki Tahun Baru 1435 Hijriyah

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al Hasyr : 18-19)

Hari ini kita telah sampai pada hari ke 27 Dzulhijah, dan beberapa hari lagi kita akan melewati detik-detik peralihan tahun 1434 H ke Tahun Baru 1435 H. Tentunya dalam memasuki hari-hari yang baru kita harus senantiasa melakukan Muhasabah Evaluasi dan introspeksi diri, membuat perhitungan dan neraca untung rugi apa yang telah kita lakukan. Dr. Yusuf Qardhawi dalam sebuah bukunya : “Al Waktu Fi Hayati Muslim’ Mengabadikan sebuah kata-kata mutiara : “Barangsiapa hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia daalh orang yang beruntung, barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin maka dia adalah orang yang rugi, barangsiapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka ia adalah orang yang terlaknat.
Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali memilih yang pertama yakni menjadi orang yang beruntung, dengan bertekad untuk meningkatkan kualitas hidup kita di masa-masa yang akan datang. Ada lima hal yang harus kita renungkan dikahir tahun ini sebagai modal untuk memasuki tahun baru 1435 H.

MODAL PERTAMA, MENINGKATKAN IMAN.
Modal iman sangat penting dalam mengarungi kehidupan ini, sebab boleh saja seseorang berkeinginan untuk mencapai sesuatu , tetapi segala sesuatu pada akhirnya yang menentukan adalah Allah SWT. Oleh karena itu kalau dalam perjalanan hidup ini kita mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan Islam menmgajarkan kepada kita agar bersabar, dan sebaliknya apabila kita mendapatkan sesuatu yang menyenangkan kita harus bersyukurt kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menyatakan bahwa amat mengagumkan perihal orang-orang yang beriman  itu segala sesuatu berakhir dengan nilai baik baginya yaitu apabila dalam kehidupannya mengalami sesuatu yang menyenangkan ia bersyukur sebaliknya apabila mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan maka ia senantiasa bersabar.

MODAL KEDUA, MENINGKATKAN TAQWA
Taqwa adalah hidup hati-hati, yakni berhati-hati dalam mengarungi kehidupan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT sebagaimana termaktub dalam AlQur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Hasan Al basri berpesan : “Berbekal dirilah anda dengan taqwa kepada Allah, sebab anda tidak tahu kalau sudah tidur apakan anda bisa hidup sampai esok hari, pesan ini mengingatkan kepada kita bahwa Taqwa senantiasa melekat dalam diri kita, sebab kematian itu tidak pernah kompromi dengan kita, banyak sekali orang yang meninggal dunia tidak diketahui apa sebab dan penyakitnya.

MODAL KETIGA, MENINGKATKAN WAWASAN KEILMUAN
Dalam rangka memetik prestasi lebih besar dimasa depan, perlu kita tyingkatkan keilmuan kita masing-masing untuk mengemban tugas yang telah dibebankan kepada kita baik tugas dari allah SWT maupun tugas dari sesama manusia. Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barangsiapa yang ingin sukses dunia maka ia harus berilmu, barangsiapa ingin sukses akhirat maka ia harus berilmu, dan barang siapa ingin sukses keduanya maka ia harus berilmu.

MODAL KEEMPAT, BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM BEKERJA.
Agar prestasi kerja kita lebih kongrit lagi, maka perlu adanya peningkatan disiplin dan kewtekunan. Jangan terjerumus dalam angan-angan , sebab prestasi yang baik hanya dapat diraih dengan kerja keras. Rasulullah SAW mengingatkan kita agar tidak terlalu berangan-angan, yakni menginginkan sesuatu tanpa berusaha. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an :“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu (Q.S. At Taubah : 105)

MODAL KELIMA, MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an : “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al Hujarat : 10)
Merupakan suatu keharusan bagi kita untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan. Sebab tidak mungkin prestasi –prestasi yang kita inginkan itu akan tercapai dengan baik tanpa adanya persatuan dan kesatuan diantara kita. Begitu pentingnya persatuan dan kesatuan sesama kita Rasulullah SAW menegaskan kepada kita : “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, barangsiapa mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, kemudian dia mati maka ia masuk neraka.

Mari kita hadapi tahun baru 1435 H dengan lima modal ini, semoga kehidupan kita yang akan datang senantiasa lebih baik dari hari ini…. Amiiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A'lam