Sebagaimana
yang telah kita ketahui bersama bahwa dasar perkawinan menurut ajaran Islam
adalah untuk melaksanakan tuntutan Allah sebagaimana firman Allah SWT Surat An
Nur ayat 32 yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Dasar
perkawinan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunnah Rasulullah SAW
sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW :
“Pernikahan adalah sunahku, barangsiapa membenci sunahku ia bukanlah
termasuk golonganku.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Adapun tujuan
perkawinan adalah :
1.
Untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah.
2.
Agar dapat melahirkan keturunan yang baik dan
berkualitas, sholeh dan sholehah.
3.
Menjaga mata dan farji dari perbuatan dosa.
4.
Membersihkan dan menguatkan hati untuk beribadah dan
istirahat.
5.
Serta memperoleh pahala dari nafaqoh yang diberikan
kepada keluarganya.
Hal tersebut sebagaimana firman-firman Allah SWT yang berbunyi :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.” (QS. Ar Rum :21)
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah
kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Furqan :74)
Begitu juga sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
“Sesungguhnya ada beberapa dosa yang tidak
dapat terhapus dengan menjalankan shalat, puasa dan perang fisabilillah kecuali
member nafaqoh kepada keluarga.(Al
Hadits)
Untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu dan kesiapan
yang cukup bagi kedua calon suami isteri, terutama dalam hal kedewasaan dan
kematangan usia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu memikul
beban keluarga hendaklah ia menikah, sebab dengan demikian ia akan lebih dapat
menundukkan pandangan dan akan lebih mampu menjaga kehormatannya. Barangsiapa
belum mampu hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya berpuasa itu akan menjadi
benteng yang menjaganya dari perbuatan maksiat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits
diatas tidak menyebutkan secara kuantitatif
(jumlah) berapa batas usia minimal untuk menikah, dan berapa usia yang ideal.
Tetapi secara kualitatif (mutu) harus
yang mampu. Pengertian mampu adalah meliputi berbagai aspek, baik fisik, mental
maupun social, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang perkawinan nomor 01
tahun 1974, bahwa prinsip perkawinan adalah mendewasakan usia perkawinan,
disebutkan minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Tetapi semakin
dewasa tentu semakin dewasa. Dan bagi yang belum berusia 21 tahun, baik wanita
maupun pria harus mendapat izin dari orang tuanya.
Prinsip usia
dewasa dalam perkawinan adalah untuk menunjang prinsip-prinsip yang lain
seperti prinsip monogami, kebahagiaan dan kelestarian, tercegahnya perceraian,
keseimbangan kedudukan suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga maupun
dalam masyarakat. Karena
perkawinan yang dilakukan dalam usia muda merupakan salah satu factor penyebab
perceraian atau gagalnya perkawinan menuju tujuannya. Hal ini disebabkan usia
muda adalah usia yang masih rawan, masih labil belum stabil, tingkat
pendidikannya masih rendah, pengetahuan agamanya yang masih minim, dan tingkat
kemandiriannya pun rendah pula. Pada umumnya masih tergantung pada orang
tuanya.
Dari segi
kependudukan perkawinan usia muda mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi sehingga tidak mendukung pembangunan di
bidang kesejahteraan. Begitu juga dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat
berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi
dan anak serta berpengaruh terhadap rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.
Ilmu kesehatan memberikan batas usia yang paling kecil resiko dalam melahirkan
adalah antara 20 s/d 35 tahun, artinya melahirkan pada usia sebelum 20 tahun
dan sesudah 35 tahun mengandung resiko tinggi.
Mengingat
dampak negatif dari perkawinan usia muda, maka demi tercapainya tujuan
perkawinan sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam kiranya perkawinan usia
dewasa sangat diutamakan. Dengan `usia yang dewasa diharapkan dapat memenuhi
makna dan fungsi pokok dari perkawinan, yaitu untuk meraih kebahagiaan,
melanjutkan keturunan dan kesempurnaan hidup. Ketiga hal tersebut merupakan
fungsi pokok perkawinan, artinya apabila perkawinan tersebut tidak memenuhi
salah satu dari 3 (tiga) fungsi tersebut maka ia akan merasa kurang bahagia,
akibatnya timbul masalah dalam perkawinannya.
Yang dimaksud
dengan kesempurnaan hidup dalam perkawinan adalah perkawinan selain merupakan
nikmat dan anugerah dari Allah SWT, juga memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi yang bersangkutan untuk melakukan fastabiqul khairat serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At Tahrim Ayat 6 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”(QS. At Tahrim :6)
Berdasarkan
ayat tersebut berarti bahwa setiap suami isteri dituntut untuk mendidik dirinya
dan anak-anaknya agar menjadi orang yang beriman dan bertaqwa, sehingga
terhindar dari apai neraka. Betapa pentingnya kedudukan pernikahan bagi
kelangsungan hidup umat manusia, telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam
hadisnya yang mengatakan bahwa nikah adalah sunahnya dan barangsiapa membenci
pernikahan adalah tidak termasuk golongannya.
Mengapa
demikian keras ancaman bagi orang yang membenci perkawinan ? Karena akan
terjadi dua kemungkinan, yaitu :
1.
Jika semua orang membenci pernikahan, tidak menikah dan
hidup membujang, maka punahlah umat manusia.
2.
Jika semua orang membenci pernikahan tetapi semua
melakukan free sex, maka akan
kacaulah kehidupan karena tidak jelas lagi garis keturunan. Selain itu, jika
semua orang melakukan free sex dan
berganti-ganti pasangan, maka akan berkecamuklah penyakit spilis dan AIDS yang sampai sekarang belum ada obatnya.
Selanjutnya
bahwa kelangsungan hidup umat yang dikehendaki oleh agama Islam adalah yang
berkualitas dimana kedewasaan usia nikah menjadi syarat mutlak, agar pasangan
suami isteri yang sama-sama dewasa mampu memikul tanggung jawabnya yang berat
dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 30, 31, 33 dan 34 sebagaimana berikut :
-
“Suami isteri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar
dari susunan masyarakat.”( Pasal 30)
-
“Hak dan
kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”
(Pasal 31 Ayat 1).
-
“Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.” (Pasal 31 Ayat 2).
-
“Suami adalah
kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.”(Pasal 31 Ayat 3)
-
“Suami isteri
wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan
lahir batin yang satu dengan yang lainnya.” (Pasal 33)
-
“Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga
sesuai dengan kemampuan.” (Pasal 34
Ayat 1)
-
“Isteri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” (Pasal 34 Ayat 2)
-
“Jika suami atau
isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan (Pasal 34 Ayat 3)
Hak
dan kewajiban suami isteri yang diatur oleh Undang-undang tersebut sejalan
dengan tuntunan agama Islam yaitu mengajarkan bahwa suami berkewajiban memberi
nafkah bagi keluarganya. Suami adalah pemimpin dan pelindung isteri, dia
dituntut untuk memberikan segala sesuatunya yang terbaik bagi isteri dan
anak-anaknya. Sebaliknya isteri adalah ibu rumah tangga. Ditangan ibulah
kesejahteraan keluarga dapat terbina sebagaimana dalam hadits yang menyatakan :
“Surga dibawah telapak kaki ibu” dan
“Wanita adalah tiang negara.”
Dari
uraian-uraian diatas jelaslah bahwa suami isteri itu memikul tanggung jawab
yang berat tetapi mulia. Kewajiban yang berat itu akan dapat dijalankan dengan
sebaik-baiknya apabila pasangan suami isteri tersebut telah dewasa, baik fisik,
mental, spiritual maupun sosialnya.
Dengan usia yang ideal/dewasa, pasangan tersebut akan lebih mampu mengatasi
berbagai hambatan dan tantangan. Pasangan suami isteri dewasa dengan mental
dewasanya akan dapat mengendalikan diri, berpikir kritis, korektif dan
konstruktif (membangun) sehingga perselisihan-perselisihan atau
permasalahan-permasalahan keluarga antara keduanya dapat diatasi dengan
sebaik-baiknya. Amiiin.
Wallahu
A’lam.