Wednesday, 4 November 2015

Pandangan Islam Terhadap Perkawinan Usia Dewasa

Oleh : SUGENG WIDODO, S.HI


                                  
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa dasar perkawinan menurut ajaran Islam adalah untuk melaksanakan tuntutan Allah sebagaimana firman Allah SWT Surat An Nur ayat 32 yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu 
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An Nur : 32)

Dasar perkawinan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunnah Rasulullah SAW sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW :
“Pernikahan adalah sunahku, barangsiapa membenci sunahku ia bukanlah
termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun tujuan perkawinan adalah :
1.        Untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah.
2.        Agar dapat melahirkan keturunan yang baik dan berkualitas, sholeh dan sholehah.
3.        Menjaga mata dan farji dari perbuatan dosa.
4.        Membersihkan dan menguatkan hati untuk beribadah dan istirahat.
5.        Serta memperoleh pahala dari nafaqoh yang diberikan kepada keluarganya.
Hal tersebut sebagaimana firman-firman Allah SWT yang berbunyi :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum :21)
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Furqan :74)
Begitu juga sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
“Sesungguhnya ada beberapa dosa yang tidak dapat terhapus dengan menjalankan shalat, puasa dan perang fisabilillah kecuali member nafaqoh kepada keluarga.(Al Hadits)
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu dan kesiapan yang cukup bagi kedua calon suami isteri, terutama dalam hal kedewasaan dan kematangan usia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu memikul beban keluarga hendaklah ia menikah, sebab dengan demikian ia akan lebih dapat menundukkan pandangan dan akan lebih mampu menjaga kehormatannya. Barangsiapa belum mampu hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya berpuasa itu akan menjadi benteng yang menjaganya dari perbuatan maksiat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits diatas tidak menyebutkan secara kuantitatif (jumlah) berapa batas usia minimal untuk menikah, dan berapa usia yang ideal. Tetapi secara kualitatif (mutu) harus yang mampu. Pengertian mampu adalah meliputi berbagai aspek, baik fisik, mental maupun social, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang perkawinan nomor 01 tahun 1974, bahwa prinsip perkawinan adalah mendewasakan usia perkawinan, disebutkan minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Tetapi semakin dewasa tentu semakin dewasa. Dan bagi yang belum berusia 21 tahun, baik wanita maupun pria harus mendapat izin dari orang tuanya.
Prinsip usia dewasa dalam perkawinan adalah untuk menunjang prinsip-prinsip yang lain seperti prinsip monogami, kebahagiaan dan kelestarian, tercegahnya perceraian, keseimbangan kedudukan suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat.    Karena perkawinan yang dilakukan dalam usia muda merupakan salah satu factor penyebab perceraian atau gagalnya perkawinan menuju tujuannya. Hal ini disebabkan usia muda adalah usia yang masih rawan, masih labil belum stabil, tingkat pendidikannya masih rendah, pengetahuan agamanya yang masih minim, dan tingkat kemandiriannya pun rendah pula. Pada umumnya masih tergantung pada orang tuanya.
Dari segi kependudukan perkawinan usia muda mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi sehingga tidak mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan. Begitu juga dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi dan anak serta berpengaruh terhadap rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Ilmu kesehatan memberikan batas usia yang paling kecil resiko dalam melahirkan adalah antara 20 s/d 35 tahun, artinya melahirkan pada usia sebelum 20 tahun dan sesudah 35 tahun mengandung resiko tinggi.
Mengingat dampak negatif dari perkawinan usia muda, maka demi tercapainya tujuan perkawinan sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam kiranya perkawinan usia dewasa sangat diutamakan. Dengan `usia yang dewasa diharapkan dapat memenuhi makna dan fungsi pokok dari perkawinan, yaitu untuk meraih kebahagiaan, melanjutkan keturunan dan kesempurnaan hidup. Ketiga hal tersebut merupakan fungsi pokok perkawinan, artinya apabila perkawinan tersebut tidak memenuhi salah satu dari 3 (tiga) fungsi tersebut maka ia akan merasa kurang bahagia, akibatnya timbul masalah dalam perkawinannya.
Yang dimaksud dengan kesempurnaan hidup dalam perkawinan adalah perkawinan selain merupakan nikmat dan anugerah dari Allah SWT, juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi yang bersangkutan untuk melakukan fastabiqul khairat serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At Tahrim Ayat 6 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At Tahrim :6)
Berdasarkan ayat tersebut berarti bahwa setiap suami isteri dituntut untuk mendidik dirinya dan anak-anaknya agar menjadi orang yang beriman dan bertaqwa, sehingga terhindar dari apai neraka. Betapa pentingnya kedudukan pernikahan bagi kelangsungan hidup umat manusia, telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya yang mengatakan bahwa nikah adalah sunahnya dan barangsiapa membenci pernikahan adalah tidak termasuk golongannya.
Mengapa demikian keras ancaman bagi orang yang membenci perkawinan ? Karena akan terjadi dua kemungkinan, yaitu :
1.        Jika semua orang membenci pernikahan, tidak menikah dan hidup membujang, maka punahlah umat manusia.
2.        Jika semua orang membenci pernikahan tetapi semua melakukan free sex, maka akan kacaulah kehidupan karena tidak jelas lagi garis keturunan. Selain itu, jika semua orang melakukan free sex dan berganti-ganti pasangan, maka akan berkecamuklah penyakit spilis dan AIDS yang sampai sekarang belum ada obatnya.
Selanjutnya bahwa kelangsungan hidup umat yang dikehendaki oleh agama Islam adalah yang berkualitas dimana kedewasaan usia nikah menjadi syarat mutlak, agar pasangan suami isteri yang sama-sama dewasa mampu memikul tanggung jawabnya yang berat dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 30, 31, 33 dan 34 sebagaimana berikut :
-          “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar dari susunan masyarakat.”( Pasal 30)
-          “Hak dan kewajiban isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”
(Pasal 31 Ayat 1).
-          “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.” (Pasal 31 Ayat 2).
-          “Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.”(Pasal 31 Ayat 3)
-          “Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu dengan yang lainnya.” (Pasal 33)
-          “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuan.” (Pasal 34 Ayat 1)
-          “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” (Pasal 34 Ayat 2)
-          “Jika suami atau isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan (Pasal 34 Ayat 3)
Hak dan kewajiban suami isteri yang diatur oleh Undang-undang tersebut sejalan dengan tuntunan agama Islam yaitu mengajarkan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah bagi keluarganya. Suami adalah pemimpin dan pelindung isteri, dia dituntut untuk memberikan segala sesuatunya yang terbaik bagi isteri dan anak-anaknya. Sebaliknya isteri adalah ibu rumah tangga. Ditangan ibulah kesejahteraan keluarga dapat terbina sebagaimana dalam hadits yang menyatakan : “Surga dibawah telapak kaki ibu” dan “Wanita adalah tiang negara.”
Dari uraian-uraian diatas jelaslah bahwa suami isteri itu memikul tanggung jawab yang berat tetapi mulia. Kewajiban yang berat itu akan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya apabila pasangan suami isteri tersebut telah dewasa, baik fisik, mental, spiritual maupun  sosialnya. Dengan usia yang ideal/dewasa, pasangan tersebut akan lebih mampu mengatasi berbagai hambatan dan tantangan. Pasangan suami isteri dewasa dengan mental dewasanya akan dapat mengendalikan diri, berpikir kritis, korektif dan konstruktif (membangun) sehingga perselisihan-perselisihan atau permasalahan-permasalahan keluarga antara keduanya dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Amiiin.


Wallahu A’lam.