Saturday 18 October 2014

7 Orang Yang Sukses Berpuasa

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI



Jika seorang musafir sukses menempuh jalan yang dilaluinya, maka ia akan sampai di kota tujuan. Demikian pula, jika seorang yang beriman sukses dalam menjalankan ibadah puasa, maka ia akan sampai pada tujuan puasa itu, yakni menjadi hamba yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa (takut kepada Allah SWT) teraplikasi dalam diri seseorang dengan mengerjakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Orang yang beriman adalah orang yang takut kepada Allah dengan seluruh anggota badannya. 





Sebagaimana dikatakan oleh Al Faqih Abul Layts, bahwa tanda ketakutan kepada Allah SWT. itu tampak pada tujuh hal, yaitu:

1. Lidahnya. Ia mencegah dari berkata dusta, menggunjing, memfitnah, menipu, dan perkataan yang tidak berguna. Sebaliknya, ia menyibukkan dengan zikir kepada Allah SWT, membaca Al Quran, dan menghafal ilmu. Demikianlah orang yang sukses dalam menjalankan puasa Ramadhan. Dalam kesehariannya, sudah tidak tampak lagi kata-kata kotor keluar dari lisannya 

2. Hatinya. Orang yang mukmin dan bertaqwa akan mengeluarkan dari dalam hatinya rasa permusuhan, kedengkian, hasut kepada teman, ujub dan sombong. Sebab hasud dapat menghapus kebaikan, sebagaimana sabda Nabi saw, Hasut memakan kebaikan seperti api membakar kayu bakar. Hasut termasuk penyakit berbahaya dalam hati. Penyakit-penyakit hati tidak akan dapat diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Orang yang sukses menjalankan ibadah puasa, akan tampak keceriaan dan ketenangan pada wajah mereka, karena mereka berhasil mengenyahkan dengki dan rasa permusuhan dalam hatinya.

3. Pandangannya. Seorang yang sukses dalam ibadah Ramadhan, ia tidak akan lagi memandang sesuatu yang diharamkan. Pandangannya pun tidak ditujukan kepada keduniaan dengan penuh cinta. Sebaliknya, ia akan memandang untuk mengambil hikmah dibalik apa yang ia lihat. Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang memenuhi kedua matanya dengan pandangan yang haram, niscaya pada hari kiamat Allah SWT. akan memenuhi kedua matanya dengan api neraka. 

4. Perutnya. Orang yang takut kepada Allah tidak akan memasukkan makanan yang haram kedalam perutnya. Sebab hal itu merupakan dosa dan penghalang terkabulnya do’a. Sebagaimana sabda Rosulullah saw Apabila satu suap makanan yang haram jatuh ke dalam perut anak adam, setiap malaikat di langit dan bumi melaknatnya selama suapan itu berada dalam perutnya. Jika ia mati dalam keadaan itu, tempat kembalinya adalah neraka jahannam. Demikian pula cerita yang dikisahkan oleh Abu Hurairah ra. Seorang laki-laki yang mengadakan perjalanan jauh (untuk ibadah), rambutnya tidak tersisir dan badannya lusuh. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdo’a Ya Tuhanku-Ya Tuhanku” tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan selalu disuapi dengan barang haram, lalu bagaimana mungkin dia dikabulkan?

5. Tangannya. Orang yang takut kepada Allah SWT dan sukses menjalan ibadah Ramadhan, tidak akan menjulurkan tangannya untuk sesuatu yang tidak diridloi Allah SWT. sebaliknya ia hanya akan mejulurkan tangannya untuk sesuatu yang mendatangkan ketaatan kepada Allah SWT. Ia menggunakan tanggannya untuk memegang mushaf Al Quran, bersedekah, bekerja dan menolong orang lain. Rosululloh saw bersabda Allah senantiasa akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya, demikian pula sabda beliau “Siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesukarannya di hari kiamat. 

6. Kakinya. Orang yang takut kepada Allah dan sukses menjalankan ibadah Ramadhan, tidak akan melangkahkan kakinya untuk melangkah kepada kemaksiatan, ia hanya melangkahkan kakinya dalam rangka mencari ridlo Allah SWT. Ia melangkah untuk menghadiri jamaah di masjid, menghadiri majelis taklim, melangkah untuk mencari rizki yang halal dan barokah bagi keluarga yang ia cintai.

7. Ketaatannya. Ia menjadikan ketaatannya semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT serta takut akan riya dan kemunafikan. Ketaatannya tidak bertambah jika disaksikan banyak orang, juga tidak berkurang ketika tidak disaksikan seseorang. Tetapi ketaatannya senantiasa ia kerjakan baik ketika disaksikan orang maupun tidak.
Jika ciri-ciri ini terdapat pada diri seorang mukmin, maka bergembiralah ia, karena ia termasuk orang yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam Al Quran.Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): ‘Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman’. Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya. [Al Hijr: 45-48]. SEMOGA KITA SENANTIASA DIBERIKAN KEKUATAN OLEH ALLAH SWT UNTUK MENJALANKAN IBADAH DIBULAN RAMADHAN INI DENGAN SEMPURNA. AMIIN.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A'lam

Ghibah atau Menggunjing

Oleh : Sugeng Widodo, SHI

Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sakwa-sangka, karena sebagian dari sakwa-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?. .. 
(QS Al Hujurat : 12)

Gunjing atau istilah lainnya yang berkonotasi membicarakan aib seseorang di dalam Islam dikenal dengan sebutan Ghibah. Secara harfiah ghibah mengandung arti tidak berada di tempat, karena berasal dari kata ghaib (tidak ada). Artinya memiliki karakteristik memberitakan aib atau kesalahan orang lain di suatu tempat dimana orang yang diceritakannya tidak ada. 


Rasulullah menjelaskan, tatkala menguji para sahabat : Wahai sahabat tahukah kamu apa itu ghibah ? para sahabat menjawab : Allah dan RasulNYa lebih mengetahuianya. Lalu jawab Baginda, "Menyebut sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu di belakangnya!" Kemudian Baginda ditanya lagi, "Bagaimana sekiranya apa yang disebutkan ltu benar?" jawab Baginda,"Kalau sekiranya apa yang disebutkan itu benar, maka itulah ghibah, tetapi jika sekiranya perkara itu tidak benar, maka engkau telah melakukan buhtan (pembohongan besar)." (Hadis riwayat Muslim, Abu Daud dan At-Tarmizi).

Ghibah (menyebut keburukan orang lain walaupun benar) amat buruk, apalagi buhtan (memfitnah dan mengada-adakan keburukan seseorang). Orang yang mendengar ucapan ghibah juga turut memikul dosa ghibah, kerana dia masuk dalam ghibah itu sendiri. Kecuali dia mengingkarinya dengan lidah, atau menerima dengan hatinya. Bila ada kesempatan maka lebih utama baginya mengalihkan ghibah tersebut dengan pembicaraan lain yang lebih bermanfaat.

Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: "Seseorang hamba yang membicarakan sesuatu yang belum jelas baginya (hakikat dan akibatnya), akan dilempar ke neraka sejauh antara timur dan barat." (Riwayat Muslim)

Ghibah bukan hanya pada ucapan lidah, tetapi setiap gerakan, isyarat, ungkapan, sindiran, celaan, tulisan atau segala sesuatu yang dipahami sebagai hinaan. Mendengar orang yang sedang ghibah dengan sikap kagum dan menyetujui apa yang dikatakannya, hukumnya sama dengan ghibah. Pahala amal kebaikan orang yang melakukan ghibah akan berikan kepada orang yang menjadi sasaran ghibahnya. Islam mengharamkan dan melarang ghibah kerana boleh mengakibatkan putus ukhuwah, rosak kasih sayang, timbul permusuhan, tersebar aib, lahir kehinaan dan timbul keinginan untuk melakukannya.

Perkataan "fitnah" berasal daripada bahasa Arab yang bermaksud kekacauan, bencana, cubaan dan penyesatan. Fitnah sering dimaksudkan sebagaiberita bohong atau tuduhan yang diada-adakan untuk membinasakan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan atau kebenaran.

Al-Quran dalam surah al-Hujuraat ayat 12 dengan jelas menghuraikan persoalan fitnah.
"Wahai orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang; dan janganlah sesetengah kamu mengumpat sesetengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi maha Pengasihani".

Rasulullah telah bersabda yang bermaksud: "Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik dan kalau tidak, hendaklah diam." (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ini membawa maksud bahawa seseorang yang beriman itu perlu sentiasa mengawasi lidahnya dan apabila berkata hanya kepada perkara-perkara yang memberi kebaikan kepada dirinya dan orang lain. Kalau tidak dapat memberi sesuatu yang membawa kebaikan maka adalah lebih baik berdiam diri sahaja.
Hadis riwayat Ahmad dan Tharani; "Barang siapa yang mengetahui ada orang mukmin dihina di depannya, ia harus membelanya, mempertahankan nama baik si mukmin itu. Apabila ia tidak mahu melakukan pembelaan itu, maka Allah s.w.t. akan menghinanya di depan orang ramai''.

Rasulullah s.a.w. ditanya tentang kelakuan apakah yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam syurga. Jawab baginda: "Taqwa kepada Allah dan keindahan akhlak, dan ketika baginda ditanya: "Apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka?" Baginda menjawab: "Kejahatan mulut dan kemaluan".

Allah memberi amaran kepada golongan yang suka berbohong dan berdusta di dalam firman-Nya bermaksud: "Maka nyatalah bahawa tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang mereka-reka perkara-perkara yang dusta terhadap Allah, dan mendustakan kebenaran sebaik-baik sahaja kebenaran itu disampaikan kepadanya. Bukankah (telah diketahui bahawa) dalam neraka jahanam disediakan tempat tinggal bagi orang-orang kafir?" (Surah az-Zumar ayat 32).

Allah SWT berfirman : "Mahukah Aku khabarkan kepada kamu, kepada siapakah syaitan-syaitan itu selalu turun? Mereka selalu turun kepada tiap-tiap pendusta yang berdosa, yang mendengar bersungguh-sungguh (apa yang disampaikan oleh syaitan-syaitan itu) sedangkan kebanyakan beritanya adalah dusta." (Q.S. Asy-Syuaraa' ayat 221-223)

Daripada Abu Hurairah r.a. katanya Rasulullah s.a.w. bersabda bermaksud: "Tidak beriman seseorang itu dengan sempurna sehingga ditinggalkan pembohongan sama ada semasa senda gurau atau semasa bersengketa atau perbalahan."

Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata, “Orang yang mengada-adakan cerita palsu tentang orang Mu’min dengan tujuan untuk menghinanya, Allah akan menghinanya pada Hari Pengadilan.”
Riwayat Muslim, "Seseorang yang sudah cukup disebut pendusta (pembohong) jika ia berbicara hanya atas dasar setiap apa yang ia dengar."

Yahya bin Mu'aadz Arrazi berkata: Jadikanlah bahagian orang mukmin daripadamu tiga macam supaya tergolong orang yang baik:
-      Jika engkau tidak dapat menguntungkan kepadanya maka jangan merugikan (merosaknya)
-      Jika engkau tidak dapat menyenangkannya, maka jangan menyusahkannya
-      Jika engkau tidak memujinya, maka jangan mencelanya
Sabda Rasulullah bermaksud: “Sesiapa mengawal lidahnya (daripada memperkatakan kehormatan orang) maka Allah akan menutup kecelaannya (hal-hal yang memalukan). Sesiapa yang menahan kemarahannya, Allah akan melindunginya daripada seksa-Nya. Dan sesiapa yang meminta kelonggarannya kepada Allah, maka Allah akan menerima permintaan kelonggarannya.” (Hadis riwayat Ibnu Abib-Duanya).
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunya bermaksud: “Tidak akan lurus iman seseorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan masuk syurga selagi tetangganya belum aman daripada kejahatannya.”.

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah telah bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang boleh membinasakan kamu iaitu menyebabkan kamu masuk Neraka atau dilaknati oleh Allah." Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah tujuh perkara itu? Rasulullah bersabda: "Mensyirikkan Allah iaitu menyekutukanNya, melakukan perbuatan sihir, membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan pertempuran dan memfitnah perempuan-perempuan yang baik itu yang boleh dikahwini serta menjaga maruah dirinya, juga perempuan yang tidak memikirkan untuk melakukan perbuatan jahat serta perempuan yang beriman dengan Allah dan RasulNya dengan fitnah melakukan perbuatan zina."
Hadis Rasulullah s.a.w. Diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: "Janganlah kamu saling benci-membenci, dengki-mendengki dan sindir-menyindir. Jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Haram seseorang muslim berkelahi dengan saudaranya lebih dari tiga hari lamanya."

Memperkatakan sesuatu bermaksud buruk amat ditegah. Ini dinyatakan dalam Firman Allah yang bermaksud: “Allah tidak suka kepada perkataan buruk yang dikatakan terang-terang. Kecuali (hanya di muka pengadilan saja) oleh yang dianiaya.” (Surah an-Nisa, ayat 12)
Hadis Rasulullah s.a.w. Diriwayatkan daripada Huzaifah r.a katanya: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: "Tidak masuk Syurga orang yang suka menabur fitnah."

Allah meletakkan dosa membuat fitnah lebih buruk kesannya daripada membunuh. Firman Allah bermaksud: “...fitnah itu besar (dahsyat) dari melakukan pembunuhan...” (Surah al-Baqarah, ayat 217).
Merujuk beberapa hadits, sanksi Allah bagi pelaku ghibah, antara lain:
Allah Akan Mengintai Kekurangannya
Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi)

Ghibah tidak Diampuni hingga Orang yang menjadi objek ghibah Mengampuninya.
Rasulullah bersabda “Ghibah itu lebih keras daripada zina.” Mereka bertanya: “Bagaimana ghibah lebih keras dari zina, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya seseorang telah berzina, kemudian bertaubat dan Alloh pun mengampuni dosanya, sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Allah, hingga orang yang di-ghibah-nya mengampuninya.” (HR. Baihaqi)

Allah Mengurung Pelaku Ghibah Dalam Lumpur Keringat Ahli Neraka
Rasulullah bersabda, “Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu wata’ala akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya).”(HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)

Mereka Mencakar-Cakar Wajah Dan Dada-Dada Mereka Sendiri Di Neraka
Rasulullah bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: `Siapakah mereka itu wahai Jibril?` Jibril menjawab, `Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain.” (HR Abu Daud)
Ghibah memang tidak semuanya dikatagorikan haram. Pada batas-batas tertentu ghibah ada yang diperbolehkan. Dalam kitab syarah muslim, Imam nawawi menyebutkan enam bentuk ghibah yang diperbolehkan, diantaranya :
1.   Jika seseorang merasa terdzalimi. Boleh baginya mengadukan kedzaliman yang dia terima kepada aparat, hakim atau pihak lain yang mempunyai wewenang untuk mencegah orang yang mendzaliminya.
2.   Untuk meminta bantuan dalam merubah kemungkaran, dan mengarahkan pelaku maksiat untuk kembali berbuat benar. Misalnya dengan mengatakan kepada orang yang dianggap mampu mencegah kemungkaran “seseorang melakukan perbuatan ini, tolong anda cegah”
3.   Untuk meminta fatwa atau nasihat. Misalnya mengatakan “temanku telah berbuat ini pada saya, bagaimana cara untuk melepasnya”
4.   Untuk mengingatkan umat Islam dari perbuatan buruk. Salah satu contohnya di dalam ilmu hadits dikenal istilah Jarh, sifat negatif yang dimiliki seorang perowi hadits. Sifat ini wajib dikemukakan untuk mengamankan mata rantai hadits Rasulullah.
5.   Menceritakan seseorang yang melakukan kefasikan atau perbuatan bidah secara terang-terangan.
6.   Mengenalkan seseorang dengan suatu sifat atau cirri fisik dengan syarat kalau tidak dijelaskan dengan cara tersebut orang yang kita maksud tidak dikenali.
Namun perlu diingat pengecualian ini bukan dengan tujuan untuk menghinakan atau melecehkannya. Tapi tidak lain merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Kekurangan yang disampaikan pun hanya sebatas kesalahannya saja yang hendak dirubah bukan kekurangan-kekurangan lainnya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan amar maruf nahi munkar.

Sikap seseorang ketika berada dalam suatu perkumpulan orang yang sedang melakukan ghibah atau menggunjing
apabila mendengar seseorang yang melakukan ghibah atau menggunjing atau membicarakan hal-hal kotor lainnya tentang seseorang, hendaklah menghindar dari orang tersebut agar tidak terlibat dalam perbuatan tercela. dan kalau mampu tegurlah agar ia tidak membicarakan kejelekan orang lain sebagai mana firman Allah SWT : “Dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil".(Q.S. Al Qhashas : 55)

Orang-orang yang menolak ghibah atas saudaranya mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah SWT. Nabi bersabda : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya”. (Hadits Riwayat Ahmad).
Rasulullah SAW juga pernah bersabda : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik atau lebih baik diam saja. 

Semoga Bermanfaat. Wallahu A'lam.
SEMOGA LISAN KITA SELALU DI JAGA OLEH ALLAH SWT. AMIIIN AMIIIN AMIIIN YA ROBBAL 'ALAMIIN

Fenomena Tidur Di bulan Suci Ramadhan

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

KEBESARAN KEMUKJIZATAN ALLAH SWT
Subhanallah... Tidur adalah salah satu nikmat serta salah satu tanda kebesaran kemukjizatan Allah SWT dalam penciptaan alam kehidupan. Sedangkan proses yang dilalui oleh aktivitas tidur adalah suatu mekanisme yang rumit. Dunia ilmu pengetahuan masih belum mampu menyingkap kecuali hanya sedikit. Tidur merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kehidupan ini. Jika tidak tidur, sungguh manusia tidak akan mampu mengiringi dan mengikuti perjalanan kehidupan. Tidur merupakan kebutuhan pokok bagi tubuh, seperti halnya makanan, minuman, dan seks. Manusia menghabiskan sepertiga umurnya untuk tidur. Dengan tidur, otot-otot dapat beristirahat, system urat saraf dapat rehat sejenak dari berjuta-juta sinyal yang diterimanya, kecuali beberapa pusat penting yang selalu terjaga untuk melakukan tugas jantung, mengatur irama nafas, dan mengatur suhu badan. Allah SWT berfirman, “Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk mencari 
                                           penghidupan.” (Q.S An-Naba: 9-11)

WAKTU YANG DIBUTUHKAN MANUSIA UNTUK TIDUR.

Berapa banyak waktu yang dibutuhkan seseorang untuk tidur?
Sebenarnya, ukuran normal untuk mengistirahatkan badan dan pikiran berkisar antara 6 sampai 8 jam. Seorang anak kecil akan membutuhkan beberapa jam lebih banyak daripada orang dewasa. Umumnya, waktu yang diperlukan untuk tidur akan semakin berkurang seiring dengan pertambahan usia.

POLA TIDUR DALAM TUNTUNAN ISLAM.
Bagaimana Islam mengatur kehidupan dan istirahat seseorang?

Allah SWT telah berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (Q.S Ar-ruum: 23)

Oleh karena itu, seyogyanya seorang manusia tidur sejenak (Qailulah) pada saat menjelang waktu Zhuhur, agar mampu dan mempunyai kekuatan untuk bekerja dan beribadah serta melaksanakan ibadah malam hari.
Selain itu, hendaknya seseorang juga tidur pada waktu awal malam setelah shalat isya’, supaya dapat bangun pada akhir malam. Rasulullah SAW bersabda, “Pada waktu tidur, syaitan mengikat dibagian tengkuk kepala salah seorang dari kalian, dengan tiga buah ikatan. Pada setiap ikatan, syaitan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah.” Apabila, salah seorang dari kalian bangun dan menyebut Asma Allah SWT, terlepaslah salah satu ikatan. Apabila kemudian salah seorang dari kalian berwudhu , maka akan terlepas salah satu ikatan lagi. Apabila, kemudian salah satu dari kalian melakukan shalat, terlepaslah salah satu ikatan lagi. Sehingga salah seorang dari kalian menjadi bersemangat dan sehat jiwanya. Namun, apabila salah seorang dari kalian tidak melakukan hal tersebut, maka akan menjadi orang yang buruk jiwanya serta malas. ” (Shahih Bukhari, Pembahasan tentang Tahajud, III/1142). 

Di dalam Al Qur’an Allah SWT juga berfirman : “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Q.S Al Muzzammil: 1-6).

FENOMENA TIDUR DI BULAN RAMADHAN

Bagaimana tidur di Bulan Ramadhan menjadi sebuah fenomena?

Seseorang yang merenungkan ayat-ayat dan hadits di atas akan merasa kagum dengan bagaimana Allah telah mengatur waktu di bulan Ramadhan. Pada waktu bulan Ramadhan manusia cenderung tidur lebih awal setelah melakukan Shalat Isya’ dan Tarawih karena untuk mempersiapkan bangun disepertiga malam untuk melakukan ibadah nafilah (Shalat Taubat, Shalat Tahajud, Shalat Hajat) dan mentakhirkan sahur. Subhanallah ... Tanpa disadari Bulan Suci Ramadhan telah mengatur pola hidup manusia menjadi sehat, mulai dari pola makan sampai dengan pola tidur. Ilmu kedokteran telah mengakui akan dahsyatnya kekuatan Ramadhan, Ilmu pengetahuan menetapkan bahwa manusia akan merasakan tidur yang nyenyak pada jam-jam pertama, dan akan terus berkurang, terlebih lagi pada jam ketiga. Pada jam kedelapan manusia akan terbangun dan inilah pola tidur yang sehat. Selain itu Dunia ilmiah masih saja kebingungan dan lemah memberikan tafsiran ketika Bagaimana kelenjar (pineal) mampu membedakan antara sinar pada siang hari dan kegelapan pada malam hari padahal kelenjar tersebut berada di dalam otak bagian dalam rongga tempurung kepala/ tengkorak. Dalam artian, hormon Melatonin (sekresi hormon dalam pengaturan tidur) berada dalam “ruang yang penuh dengan kegelapan” Maha benar Allah dengan firman-Nya. “… dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S Al-Israa: 85) Akan tetapi terkadang manusia cenderung salah kaprah pada saat bulan puasa. Nafsu IT (Ingin Tidur) justru malah bertambah besar pada saat bulan puasa sehingga melanggar anjuran manajemen tidur.

MANAGEMEN TIDUR PADA BULAN SUCI RAMADHAN

Bagaimana cara memanage tidur pada saat bulan puasa?

1.    Kita harus belajar mengendalikan makan. Lebih tertib dan teratur. Kalau di bulan Ramadhan pastikan pada 
      saat berbuka bukan sebagai ajang balas dendam. Makanlah secukupnya pada saat berbuka. Bisa juga 
      dilanjutkan makan setelah taraweh.
2.   Sebaiknya tidak merubah pola tidur di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Jika pola tidur terbaik 
     adalah  di bulan Ramadhan yaitu dengan mengurangi jumlah jam tidur dan banyak menghidupkan malam. 
     Maka dibulan selain bulan Ramadhan seharusnya sama.
3.  Menanamkan semangat yang tinggi, misalnya dengan selalu mengingat keutamaan-keutamaan Ramadhan 
     terutama dalam menghidupkan malam-malamnya. Pahala yang berlipat ganda. Keridloan Allah dalam 
     genggaman dll.

Berlebihan dalam tidur dapat menyebabkan bertambahnya rasa kantuk. Sedangkan kekurangan tidur dapat menyebabkan gelisah, tidak dapat beristirahat, dan pikiran kacau. Oleh karena itu Rasulullah SAW , sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. 

Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam

Puasa Membentuk Pribadi Muslim Yang Berkualitas

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Ucapan syukur patut kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kepada kita taufiq, hidayah dan inayahNya berupa nikmat Iman dan Islam, kesehatan jasmani dan rohani dan panjang umur sehingga kita masih dipertemukan dengan Bulan Suci Ramadhan yang agung penuh barokah semoga Allah SWT senantiasa meridhoi kita dalam beramal shaleh dimuka bumi ini.

Disebutkan dalam sebuah hadis pernah dilukiskan oleh Rasulullah SAW bahwa iman seseorang masih barada dalam kondisi telanjang jika belum diberi pakaian. Sedangkan pakaian iman tersebut adalah ketaqwaan. Dengan demikian pencapaian taqwa bukanlah sekedar penyempurna keimanan, melainkan sebagai bagian yang integral dari keimanan itu sendiri. Kalau jalan pikiran ini diikuti, maka tugas kita dalam menjalankan ibadah puasa adalah menciptakan pakaian taqwa itu. Ibarat orang yang sedang menenun pakaian, maka ibadah-ibadah yang kita lakukan pada Bulan Suci Ramadhan adalah bagaikan kumpulan benang-benang yang akan digunakan dalam menenun pakaian taqwa tersebut. Selesai melaksanakan ibadah puasa Bulan Suci Ramadhan boleh jadi hasil tenunan seseorang, akan lebih baik dan indah dari tenunan orang lain, begitu juga dengan yang lainnya boleh jadi karena sesuatu dan lain hal tenunan seseorang tidak dapat diselesaikannya sampai akhir Ramadhan.

Rasulullah SAW pernah bersabda : “Berapa banyak manusia yang tidak memperoleh apapun dari puasanya kecuali sekedar lapar dan haus”.  Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW juga pernah bersabda : “Berapa banyak manusia yang tidak memperoleh apapun dari qiyamul lail /shalat malamnya kecuali sekedar lelah”.  Kenapa ini bisa terjadi ? jawabnya adalah karena orang tersebut tidak dapat menjaga dan mempergunakan benang-benang ketaqwaan yang ada dalam ibadah puasa dan Qiyamul Lail tersebut dengan baik dan benar. Kalau melaksanakan ibadah puasa dan Qiyamul Lail Ramadhan diibaratkan bagai menenun pakaian taqwa, maka dapat dilihat benang-benang apa saja yang kita gunakan dan bagaimana kita  menggunakannya. 

Benang-benang tersebut antara lain :
1.     Menahan diri (shiyam) dari segala tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan agama akan 
        memunculkan pengendalian diri, melahirkan kejujuran dan anti konsumerisme (tidak membeli diluar 
        kemampuan) sehingga membuat seseorang hidup sederhana.
2.     Kondisi lapar dan haus dengan segala konsekuensinya akan melahirkan rasa kepedulian sosial pasca 
        Ramadhan.
3.     Ibadah taraweh dan ibadah-ibadah lainnya akan meningkatkan keimanan dan ketauhidan seseorang.
4.     Sahur dan buka puasa merupakan simbol dari kasih sayang. 

Kasih sayang sesama karena sama-sama dalam kondisi lapar dan sama-sama makan dengan tujuan yang sama. Juga merupakan simbol kasih sayang Tuhan. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW : “Di dalam sahur itu ada barkah dan Allah akan menyayangi mereka yang melakukan sahur”

Demikian juga dalam Sabda Rasulullah SAW yang lain : “Barang siapa memberi bukaan kepada orang lain, ia akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya”.
Dengan kondisi lapar dan haus, seorang muslim tetap memiliki semangat untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Ini merupakan simbol daya tahan kaum beriman dari segala goncangan kehidupan dan juga merupakan Simbol etos kerja dan kreatifitas seorang Muslim yang berkualitas. Dengan demikian ibadah puasa bukanlah merupakan ancaman bagi dunia kerja, melainkan merupakan upaya untuk peningkatan kreatifitas produktifitas umat Islam.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam.

Empat Golongan Manusia Yang Dirindukan syurga

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Hari puasa Ramadhan bergulir terus, pada saat ini kita berada dalam sepuluh pertengahan Ramadhan. Bagi kita yang menginginkan “La’alakum Tattaquun” mulai masuk Ramadhan telah memasang niat mengejar sebanyak mungkin nilai-nilai yang terkandung di dalam bulan suci Ramadhan. Sehubungan dengan hal tersebut sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW : “Al Jannatu Mustaqotun ‘Ala Arba’ati Nafariin” yaitu Syurga merindukan empat golongan “.


Golongan Pertama : “Taalil Qur’an”
Yaitu golongan manusia yang suka membaca dan mempelajari Al Quran. Sebagaimana nasehat nabi yang mengamanahkan umatnya untuk belajar tanpa peduli umur, dari lahir hingga masuk ke liang lahat. Pengaruh puasa terhadap diri kita adalah adanya ketinggian rasa cinta terhadap membaca Al Qur’an. Sebab kesempatan memang ada di bulan Ramadhan ini bagi umat Islam untuk selalu meneliti dan melihat Al Qur’an, dalam arti kembali melihat nilai-nilai Qur’any itu, yang mungkin di bulan bulan lain tidak sempat kita membacanya, sedang di bulan Ramadhan kesempatan itu banyak kita temukan. Kalau kita sudah berniat untuk memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan tentunya kita juga banyak membaca Al Qur’an itu sendiri. Al Qur’an adalah pedoman umat Islam, Undang-undang dalam pergaulan, Rem cakram dalam kehidupan. Ironis kiranya jika ada orang mengaku Islam sementara tidak bisa membaca atau tidak mau belajar membaca Al Qur’an itu sendiri.

Golongan Kedua : “Haafidzil lissan”
Yaitu golongan orang yang memelihara lidahnya. Kenapa lidah yang dipelihara ? sebab segala aktivitas yang sangat dominan adanya pada lidah, misalnya seseorang sakit hati atau senang dengan kita di sebabkan lidah kita. Begitu juga seseorang saling bermusuhan dan bercerai berai akibat dari kurangnya memelihara lidah. Dalam pepatah dikatakan “Keselamatan manusia tergantung bagaimana ia memelihara lidahnya”. Oleh karena itu Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara dengan perkataan yang baik atau lebih baik diam saja.” Pengaruh Ramadhan adalah terpeliharanya lidah dari segala anasir yang sifatnya merendahkan martabat puasa, minimal kalau berbicara sewajarnya dan berarti. Lebih dari itu pengaruh berpuasa terhadap lidah adalah timbulnya sikap hati hati dalam mengkonsumsi setiap makanan, dalam artian setiap makanan yang dimakan harus yang halal dan yang baik “Halalan Thoyyiban.” sebab ia selalu khawatir makanan yang akan melewati kerongkongannya itu akan membawa dampak yang tidak baik terhadap jiwanya.

Golongan Ketiga : “Muth’imunith Tha’aam” 
Yaitu  golongan orang yang gemar memberi makan kepada orang yang lapar. Lebih dari itu artinya adalah membagi rizki yang kita peroleh untuk orang yang membutuhkan, sehingga kesenjangan sosial akan hilang diantara kita. Kesenjangan sosial yang mersesahkan masyarakat adalah salah satu akibat tidak adanya penghayatan terhadap ibadah puasa. Pengarus Ibadah puasa terhadap jiwa adalah mengajarkan manusia untuk mengerti dan memahami apa yang dirasakan saudaranya sehingga akan menimbulkan kepedulian sosial terhadap sesama. Oleh karena itu di bulan Ramadhan ini perlu kiranya bagi kita untuk menyisihkan sedikit rezki yang kita peroleh baik yang berbentuk wajib maupun sunat untuk fakir miskin, anak-anak yatim, kaum lemah“Dhu’afa’ dan mereka yang membutuhkan. Sebab pada dasarnya puasa bukan untuk diri mereka yang berpuasa, tetapi lebih dari itu berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat. Percikan Ramadhan hendaknya dirasakan oleh seluruh umat manusia sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an :”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Q.S. Ad Dhuha : 11). Maksudnya bukan menceritakan kekayaan dan kemegahan kepada orang lain melainkan nikmat yang selama ini Allah anugerahkan kepada kita juga dapat dirasakan oleh tetangga, sahabat, fakir miskin, anak-anak yatim dan kaum lemah “Dhu’afa’.

Golongan keempat : “ Shoimin Fis Syahri Ramadhan “. 
Yaitu golongan orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Tujuan setiap ibadah adalah kedekatan pada Allah ta’ala. Puasa yang kita lakukan bertujuan untuk mencapai kedekatan pada Allah yakni menjadi Insan yang bertaqwa sebagaiman firman Allah SWT : “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagamana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183) Di dalam hadits Rasulullah SAW beliau juga menjelaskan : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batasnya, dan ia menjaga diri dari segala apa yang patut dijaga, dihapuskanlah dosanya yang sebelumnya.” (Riwayat Ahmad, Baihaqi dengan sanad yang baik)“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan keridhaan Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (Riwayat Ahmad dan Ash-habus Sunan).

Inilah empat golongan manusia yang dirindukan syurga sebagaimana yang telah disampaikan dalam hadits Rasulullah SAW. 

Wallahu A’lam. Semoga kita dapat menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk bisa menjalani hidup dengan lebih berkah dan semoga Allah mengaruniai hidayah serta ampunan agar manusia dapat terlahir sebagai golongan yang diberi predikat mutaqin dan menjadi salah satu golongan manusia yang dirindukan Syurga. Amiiin Ya Rabbal ‘Alamiiin.

Tiga Golongan manusia Dalam Menyikapi Al Qur'an

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Peristiwa peristiwa Nuzulul Quran (turunya Al Qur’an) terjadi pada tanggal 17 Ramadhan merupakan salah satu peristiwa sakral yang sangat luar biasa dalam tuntuanan agama Islam. Nuzulul Quran yang membawa misi Alquran sebagai kitab petunjuk dan pembeda antara yang hak dan batil sehingga seluruh kaum Muslim menjadikan Alquran sebagai pedoman utama dalam kehidupan mereka. Allah mewahyukan Alquran itu kepada Nabi Muhammad saw, kemudian ilmu dan pengetahuan Alquran itu diwariskan Nya kepada hamba-hamba Nya yang pilihan. Mereka itu adalah umat Nabi Muhammad, seperti yang dinukilkan dari Ibnu `Abbas. Sebab Allah telah memuliakan umat ini melebihi kemuliaan yang diperoleh umat sebelumnya. Kemuliaan itu tergantung kepada faktor sejauh manakah ajaran Rasulullah itu mereka amalkan, dan sampai di mana mereka sanggup mengikuti petunjuk Allah(Tafsir Al Khazib Juz: V, hal: 248). 


Oleh karena itu bersempana peringatan Nuzulul Qur’an malam 17 Ramadhan 1432 H, marilah kita lihat beberapa sikap kaum Muslim terhadap Alquran agar kita dapat mengambil sikap terbaik dan proporsional terhadap Alquran sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Allah SWT berfirman dalam al Qur’an : Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Q.S. Al Fathir :32). Dari ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa manusia dalam menyikapi keberadaan Al Qur’an terbagi menjadi tiga (3) golongan, yaitu :

Golongan Pertama : Al-Zhalim LNafsihi .
Yaitu Orang yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi)Maksudnya orang yang mengerjakan sebahagian perbuatan yang wajib (menurut hukum agama) dan juga tidak meninggalkan sebagian perbuatan terlarang (haram). Ia masih sedikit mengamalkan ajaran Kitabullah dan terlalu senang memperturutkan kemauan nafsunya, atau orang yang masih banyak amal kejahatannya dibanding dengan amal kebaikannya. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang zhalim itu adalah yang membaca al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa zhalim itu adalah yang lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah. Ada juga yang menafsirkan yang zhalim adalah yang masuk masjid setelah shalat ditegakkan.

Golongan Kedua  : Muqtashid  
Yaitu Orang yang bersikap pertengahan (muqtashid). Maksudnya adalah orang-orang yang melaksanakan segala kewajiban-kewajiban agamanya, dan meninggalkan larangan-larangannya, tetapi kadang-kadang ia tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dipandang sunah atau masih mengerjakan sebagian pekerjaan-pekerjaan yang dipandang makruh. Ia seimbang antara amalan kebaikan dan kejahatannya. Sebagian Ahli Tafsir berpendapat yang pertengahan adalah yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya. Ada juga yang menafsirkan yang pertengahan adalah yang tidak kehilangan waktu shalat namun ketinggalan jamaah. Ada juga yang menafsirkan yang pertengahan adalah yang masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan.

Golongan Ketiga : Al-Sabiq BAl-Khairat
Yaitu Orang yang berkompetisi dalam kebaikan (al-sabiq bi al-khairat). Maksudnya orang yang selalu mengerjakan amalan yang wajib dan sunah, meninggalkan segala perbuatan yang haram dan makruh serta sebahagian hal-hal yang mubah (dibolehkan). Ia terus menerus mencari ganjaran Allah dengan melakukan amal-amal kebaikan. Sebagian Ahli Tafsir berpendapat yang berkompetisi dalam kebaikan adalah yang membaca al-Qur’an, memahaminya dan mengamalkannya  Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk ke mesjid sebelum adzan dikumandangkan.

Para ulama ahli tafsir telah meriwayatkan hadis sehubungan dengan maksud di atas Hadis Rasulullah SAW riwayat Al Bagawy dari Abu Darda', di mana setelah beliau membaca ayat 32 surat Fatir di atas Beliau SAW bersabda: "Adapun orang yang berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan mereka akan masuk surga tanpa hisab (perhitungan), sedang orang-orang pertengahan (muqtasid) mereka akan dihisab dengan hisab yang ringan, dan orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri mereka akan ditahan dulu di tempat (berhisab nya), sehingga ia mengalami penderitaan kemudian dimasukkan ke dalam surga. Kemudian beliau membaca "Alhamdulilldhil lazi azhaba annal hazana inna rabbana lagafurun syakur". (Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami, sesungguhnya Tuhan kamu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri). (H.R. Ahmad) Warisan mengamalkan kitab suci dan kemuliaan yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad itu merupakan suatu karunia yang amat besar dari Allah, yang tidak seorang pun dapat menghalangi ketetapannya itu. 

Wallahu A’lam. Semoga keterangan ulama tafsir ini bisa memutivasi kita untuk meningkatkan iman dan taqwa kita semua sehingga kita bisa berlomba ntuk untuk berbuat yang baik yang diridhoi Allah SWT.

Bekal Untuk Menempuh Jalan Terjal Berliku

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” 
(Q.S. As Syu’ara : 87-89)

Ketahuilah, bahwa datang silih bergantinya siang dan malam, hari dan minggu, bulan dan tahun adalah merupakan pelajaran bagi yang mau mengambil pelajaran dan peringatan bagi orang yang mau merenungkan, dan ladang bagi orang-orang yang mau beramal. Bagi orang yang mempunyai akal dan pikiran akan semakin bertambah pengertiannya tentang hakekat kehidupan di dunia ini.

Manusia pada hakekatnya adalah musafir yang sedang menempuh perjalanan yang panjang nan melelahkan. Bekal, adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk segala aktivitas kita, apalagi sebagai seorang muslim. Bukankah seorang muslim juga dituntut untuk menjadi da’i ? orang yang meniti jalan dakwah. Titian jalan tersebut begitu panjang, bahkan lebih panjang dari usia manusia, serasa tiada bertepi.

Dunia adalah desa untuk lewat dan berlalu. Kepergian sebagian dari padanya menandakan kepergian semua. Banyak sudah dunia memisahkan antara anak dan ayahnya, saudara dan saudaranya, teman dan temannya, kekasih dan kekasihnya, banyak pula dunia melewatkan kesempatan. Dunia juga tempat pertarungan antara alhaq (kebenaran) dan albathil (kebatilan). Ini telah berlangsung sejak nenek moyang pertama kita, Nabiyullah Adam AS dan Hawwa, hingga akhir nanti. Menempuh jalan ini jelas bukan suatu yang ringan. Untuk itulah bekal sangat kita butuhkan. Aneh bila menempuh perjalanan nan panjang tanpa membawa bekal. Kalau dalam perjalanan fisik yang bersifat duniawi, seseorang harus mencukupkan bekal yang dapat mengantarkannya pada tujuan, apalagi seorang da’i yang menempuh perjalanan yang bersifat ukhrawi, tentunya memerlukan bekal yang lebih besar. Bekal yang dapat menjaminnya sampai tujuan akhir yang dikehendaki. Para ulama’ salaf mengatakan bahwa orang yang melakukan safar (perjalanan) fisik tanpa bekal makanan tidaklah bisa disebut tawakal, justru merupakan kebodohan. Apatah lagi seorang da’i yang melakukan perjalanan ruhiyah.

Seorang mukmin mesti menyiapkan bekal untuk menuju akhiratnya. Bekal yang dapat membawanya melewati hisab (perhitungan amal) dan ‘iqab(balasan). Bekal yang mampu mendatangkan ampunan dan menjadikannya berhasil melewati as shirath. Begitu juga seorang da’i dituntut mempunyai bekal yang cukup untuk menempuh perjalanan panjangnya. Bekal yang menjadikanya memiliki nafas panjang. Bekal yang dapat mengecilkan semua kesulitan dan kepenatan. Dirinya juga harus mempunyai himmah (tekad) yang teguh untuk menggapai kebaikan. Oleh karena itu orang yang mempunyai akal adalah orang yang mampu menjarah semua waktunya di dunia ini, lalu ia mendahulukan untuk dirinya sesuatu yang menjadi bekal disisi Allah SWT, dan menjadi kelonggaran baginya ketika kesedihannya menjadi berat, yaitu pada hari, di mana seseorang melihat apa yang telah diperbuat, hari dimana anak anak dan harta benda tidak bermanfaat kecuali kebersihan hati dalam melakukan amal salih. Karena itulah demi pentingnya sebuah bekal Allah SWT berfirman, yang artinya :
“Berbekalah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa...” (Q.S. Al Baqarah : 197)

Setiap Manusia pasti mengalami kehidupan dunia di bumi ini. Kemudian setelah selesai kehidupan dunia menyusul kehidupan akhirat. Hidup manusia tidaklah sama. Antara yang satu dengan yang lain. Ada yang begitu lahir sudah tidak bisa merasakan hirupan udara, ada juga yang diberi kesempatan hingga tua renta. Ada yang masih muda segar bugar tiba-tiba esok hari sudah tiada. Sementara ada juga yang sudah pikun terbungkuk-bungkuk tapi nyawa belum pergi juga. Tapi semua muaranya sama akhirat, bisa juga ke syurga yang penuh bahagia, mungkin juga neraka yang sarat sengsara. Allah SWT memperingati dalam firman-nya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”         (Q.S. Al A’raf : 34)

Kehidupan dan kematian memang misteri, hanya Allah SWT yang punya dan menguasai. Karena itu selagi masih sehat dan ada kesempatan, alangkah baiknya kalau kita berbekal untuk hari yang dasyat tersebut. Dunia inilah tempat usaha, mengumpulkan bekal perjalanan abadi (jalan terjal penuh berliku). Sementara akherat adalah tempat pembalasan. Seorang bijak bertutur, “Siang dan malam adalah gudang (tempat penyimpanan). Oleh karena itu lihatlah yang engkau perbuat untuk mengisi keduanya”. Betapa indah perkataan seorang penyair :” Dunia adalah jalan menuju syurga atau neraka. Sementara malam adalah modal berdagang dan siangnya adalah pasar.”

Meraih syurga bukanlah dengan cara menjadi sufi. Yang tepat adalah menjadikan segala aktivitas positif ikhlas hanya karena Allah SWT. Sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah ra. : “Ibadah adalah istilah yang mencakup segala sesuatu yang diridhai dan dicintai Allah, berupa perkataan dan perbuatan baik lahir maupun batin” Insya Allah dengan niat yang lurus akan menjadikan sesuatu yang mubah pun menjadi ibadah. Sebaliknya niat yang rusak, karena riya’ misalnya, membuat ibadah menjadi tertolak, bahkan mendatangkan dosa. Karena itulah setiap hari setiap saat kita harus selalu mengoreksi niat kita, agar senantiasa lurus menuju Allah SWT.
Allah SWT memperingati dalam firman-Nya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”  (Q.S. Al Bayyinah : 5)

Beruntunglah kalau kita beramal kemudian amal kita diterima oleh Allah SWT, karena dengan begitu tujuan pokok kita dalam beribadah dapat tercapai, sehingga amal kita tidak sia-sia belaka dan dapat menjadi bekal disisi Allah SWT. Bahkan kalau betul kita dalam beramal dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT semata, maka amal kita tidak sekedar diterima Allah, tetapi lebih dari itu dengan amal yang kita kerjakan dengan niat yang tulus ikhlas itu Insya Allah kita juga akan memperoleh fadhilah-fadhilah tertentu dari Allah SWT.

Oleh karena itu kita hendaknya beramal dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah semata, tidak karena sesuatu yang selain Allah SWT. Bahkan sekiranya mungkin, kita masing-masing hendaknya berusaha untuk melakukan amal yang tertinggi tingkatannya seperti yang pernah dikatakan oleh Imam Yahya An Nawawi, beliau mengatakan bahwa amal-amal baik dapat di bagi menjadi tiga macam,yaitu :

Pertama     ; yang disebut amal hamba sahaya,yaitu amal yang dikerjakan karena takut kepada Allah SWT.

Kedua       ; yang disebut amal saudagar, yaitu amal yang dikerjakan karena mengharap pahala dan karena ingin masuk syurga.

Ketiga       ; yang disebut amal manusia merdeka, yaitu amal yang dikerjakan tidak karena takut kepada Allah SWT atau mengharap pahala-Nya, tetapi karena adanya kesadaran bahwa beramal atau beribadah adalah kewajiban manusia kepada Allah SWT.

Amal yang terakhir inilah amal ikhlas yang tertinggi tingkatannya dihadapan Allah SWT.

Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam.