Oleh : Sugeng Widodo, S.HI
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(Q.S. As Syu’ara : 87-89)
Ketahuilah, bahwa datang silih bergantinya siang dan malam, hari dan minggu, bulan dan tahun adalah merupakan pelajaran bagi yang mau mengambil pelajaran dan peringatan bagi orang yang mau merenungkan, dan ladang bagi orang-orang yang mau beramal. Bagi orang yang mempunyai akal dan pikiran akan semakin bertambah pengertiannya tentang hakekat kehidupan di dunia ini.
Manusia pada hakekatnya adalah musafir yang sedang menempuh perjalanan yang panjang nan melelahkan. Bekal, adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk segala aktivitas kita, apalagi sebagai seorang muslim. Bukankah seorang muslim juga dituntut untuk menjadi da’i ? orang yang meniti jalan dakwah. Titian jalan tersebut begitu panjang, bahkan lebih panjang dari usia manusia, serasa tiada bertepi.
Dunia adalah desa untuk lewat dan berlalu. Kepergian sebagian dari padanya menandakan kepergian semua. Banyak sudah dunia memisahkan antara anak dan ayahnya, saudara dan saudaranya, teman dan temannya, kekasih dan kekasihnya, banyak pula dunia melewatkan kesempatan. Dunia juga tempat pertarungan antara alhaq (kebenaran) dan albathil (kebatilan). Ini telah berlangsung sejak nenek moyang pertama kita, Nabiyullah Adam AS dan Hawwa, hingga akhir nanti. Menempuh jalan ini jelas bukan suatu yang ringan. Untuk itulah bekal sangat kita butuhkan. Aneh bila menempuh perjalanan nan panjang tanpa membawa bekal. Kalau dalam perjalanan fisik yang bersifat duniawi, seseorang harus mencukupkan bekal yang dapat mengantarkannya pada tujuan, apalagi seorang da’i yang menempuh perjalanan yang bersifat ukhrawi, tentunya memerlukan bekal yang lebih besar. Bekal yang dapat menjaminnya sampai tujuan akhir yang dikehendaki. Para ulama’ salaf mengatakan bahwa orang yang melakukan safar (perjalanan) fisik tanpa bekal makanan tidaklah bisa disebut tawakal, justru merupakan kebodohan. Apatah lagi seorang da’i yang melakukan perjalanan ruhiyah.
Seorang mukmin mesti menyiapkan bekal untuk menuju akhiratnya. Bekal yang dapat membawanya melewati hisab (perhitungan amal) dan ‘iqab(balasan). Bekal yang mampu mendatangkan ampunan dan menjadikannya berhasil melewati as shirath. Begitu juga seorang da’i dituntut mempunyai bekal yang cukup untuk menempuh perjalanan panjangnya. Bekal yang menjadikanya memiliki nafas panjang. Bekal yang dapat mengecilkan semua kesulitan dan kepenatan. Dirinya juga harus mempunyai himmah (tekad) yang teguh untuk menggapai kebaikan. Oleh karena itu orang yang mempunyai akal adalah orang yang mampu menjarah semua waktunya di dunia ini, lalu ia mendahulukan untuk dirinya sesuatu yang menjadi bekal disisi Allah SWT, dan menjadi kelonggaran baginya ketika kesedihannya menjadi berat, yaitu pada hari, di mana seseorang melihat apa yang telah diperbuat, hari dimana anak anak dan harta benda tidak bermanfaat kecuali kebersihan hati dalam melakukan amal salih. Karena itulah demi pentingnya sebuah bekal Allah SWT berfirman, yang artinya :
“Berbekalah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa...” (Q.S. Al Baqarah : 197)
Setiap Manusia pasti mengalami kehidupan dunia di bumi ini. Kemudian setelah selesai kehidupan dunia menyusul kehidupan akhirat. Hidup manusia tidaklah sama. Antara yang satu dengan yang lain. Ada yang begitu lahir sudah tidak bisa merasakan hirupan udara, ada juga yang diberi kesempatan hingga tua renta. Ada yang masih muda segar bugar tiba-tiba esok hari sudah tiada. Sementara ada juga yang sudah pikun terbungkuk-bungkuk tapi nyawa belum pergi juga. Tapi semua muaranya sama akhirat, bisa juga ke syurga yang penuh bahagia, mungkin juga neraka yang sarat sengsara. Allah SWT memperingati dalam firman-nya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al A’raf : 34)
Kehidupan dan kematian memang misteri, hanya Allah SWT yang punya dan menguasai. Karena itu selagi masih sehat dan ada kesempatan, alangkah baiknya kalau kita berbekal untuk hari yang dasyat tersebut. Dunia inilah tempat usaha, mengumpulkan bekal perjalanan abadi (jalan terjal penuh berliku). Sementara akherat adalah tempat pembalasan. Seorang bijak bertutur, “Siang dan malam adalah gudang (tempat penyimpanan). Oleh karena itu lihatlah yang engkau perbuat untuk mengisi keduanya”. Betapa indah perkataan seorang penyair :” Dunia adalah jalan menuju syurga atau neraka. Sementara malam adalah modal berdagang dan siangnya adalah pasar.”
Meraih syurga bukanlah dengan cara menjadi sufi. Yang tepat adalah menjadikan segala aktivitas positif ikhlas hanya karena Allah SWT. Sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah ra. : “Ibadah adalah istilah yang mencakup segala sesuatu yang diridhai dan dicintai Allah, berupa perkataan dan perbuatan baik lahir maupun batin” Insya Allah dengan niat yang lurus akan menjadikan sesuatu yang mubah pun menjadi ibadah. Sebaliknya niat yang rusak, karena riya’ misalnya, membuat ibadah menjadi tertolak, bahkan mendatangkan dosa. Karena itulah setiap hari setiap saat kita harus selalu mengoreksi niat kita, agar senantiasa lurus menuju Allah SWT.
Allah SWT memperingati dalam firman-Nya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah : 5)
Beruntunglah kalau kita beramal kemudian amal kita diterima oleh Allah SWT, karena dengan begitu tujuan pokok kita dalam beribadah dapat tercapai, sehingga amal kita tidak sia-sia belaka dan dapat menjadi bekal disisi Allah SWT. Bahkan kalau betul kita dalam beramal dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT semata, maka amal kita tidak sekedar diterima Allah, tetapi lebih dari itu dengan amal yang kita kerjakan dengan niat yang tulus ikhlas itu Insya Allah kita juga akan memperoleh fadhilah-fadhilah tertentu dari Allah SWT.
Oleh karena itu kita hendaknya beramal dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah semata, tidak karena sesuatu yang selain Allah SWT. Bahkan sekiranya mungkin, kita masing-masing hendaknya berusaha untuk melakukan amal yang tertinggi tingkatannya seperti yang pernah dikatakan oleh Imam Yahya An Nawawi, beliau mengatakan bahwa amal-amal baik dapat di bagi menjadi tiga macam,yaitu :
Pertama ; yang disebut amal hamba sahaya,yaitu amal yang dikerjakan karena takut kepada Allah SWT.
Kedua ; yang disebut amal saudagar, yaitu amal yang dikerjakan karena mengharap pahala dan karena ingin masuk syurga.
Ketiga ; yang disebut amal manusia merdeka, yaitu amal yang dikerjakan tidak karena takut kepada Allah SWT atau mengharap pahala-Nya, tetapi karena adanya kesadaran bahwa beramal atau beribadah adalah kewajiban manusia kepada Allah SWT.
Amal yang terakhir inilah amal ikhlas yang tertinggi tingkatannya dihadapan Allah SWT.
Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment