Friday, 17 October 2014

Jauhilah Gibah, Fitnah dan Silang sengketa

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Sesungguhnya tidak satupun diantara kita yang ingin dijelek-jelekkan, dihina, apalagi difitnah. Namun, dewasa ini ada beberapa orang diantara kita yang merasa digibah dan difitnah oleh orang lain. Ghibah dan Fitnah ini mungkin dilatarbelakangi oleh faktor politis, ekonomi atau faktor lain. Apakah yang dimaksud dengan gibah dan fitnah itu ?

Gibah adalah menceritakan kejelekan orang yang apabila orang tersebut mendengarnya ia tidak akan suka meskipun hal itu benar. Sedangkan Fitnah dikenal dalam ajaran Islam dengan sebutan buhtan atau kebohongan, yaitu berbicara dengan perkataan dusta atau menyebutkan sesuatu yang tidak ada pada seseorang. Dalam kamus diterangkan fitnah adalah suatu perkataan atau pembicaraan yang sengaja disebarkan untuk menjelek-jelekkan orang agar orang mempunyai kesan buruk terhadap orang yang difitnah itu. (Badudu Zain, 1994:408). Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tahukah kamu apakah gibah itu ? “Jawab Sahabat : “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. Nabi SAW bersabda : “Yaitu menyebut saudaramu dengan apa yang tidak disukainya. Beliau Nabi SAW ditanya : “Bagaimanakah pendapat engkau kalau itu memang (kejadian) sebenarnya ada padanya ? Jawab Nabi SAW : “Kalau memang sebenarnya begitu, itulah yang disebut gibah. Akan tetapi, jikalau menyebut apa-apa yang tidak sebenarnya, berarti kamu telah menuduhnya dengan kebohongan (buhtan atau fitnah).”       (H.R. Muslim)

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa tidak selamanya orang yang dijelekkan, dihina, atau difitnah itu lebih jelek daripada orang yang menfitnah menjelekkannya bahkan kenyataan yang terjadi dapat pula sebaliknya.
Allah SWT memperingati dalam firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri, dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. Al Hujuraat : 11)
Gibah dilarang dalam ajaran Islam. Orang yang melakukannya bagaikan telah memakan daging bangkai saudaranya.

Sebagaimana Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“... dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”     (Q.S. Al Hujuraat : 12)

Menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana dikutip oleh al Faqih Abu Laits Samarqandi, ayat itu turun ketika Rasulullah SAW dengan para sahabat sedang mengadakan suatu perjalanan. Ditengah perjalanan, para sahabat diperintahkan agar setiap dua orang yang mampu bersedia membantu seorang yang tak mampu (tentang makanan dan minuman). Salman diikutkan pada dua orang, tetapi ketika ia lupa tidak melayani keperluan keduanya, ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah SAW. Setelah ia berangkat, keduanya berkata,”Seandainya ia pergi kesumur, pasti surutlah sumurnya,” Ketika Salman menghadap, Nabi SAW bersabda :“Sampaikan kepada keduanya bahwa kalian sudah makan lauk-pauknya,” Setelah ia menyampaikan hal itu kepada kedua orang tua tersebut, keduanya menghadap Nabi SAW, dan berkata : “Kami tidak makan lauk pauk,” Nabi SAW bersabda : “Aku melihat merahnya daging pada mulut kalian berdua,” Jawab mereka :“Kami sekalian tidak makan lauk pauk dan seharian tidak makan daging,” Kemudian bersabdalah Rasulullah SAW : “Kalian telah membicarakan saudaramu (Salman), maukah kalian memakan daging orang mati’ ? Jawab mereka : “Tidak,” Kemudian Nabi bersabda : “Jika kalian tidak mau memakan daging orang mati, janganlah kalian mengatakan kejelekan orang lain (gibah) sebab perbuatan tersebut sama dengan memakan daging saudaranya.” Kemudian turunlah ayat diatas.

Begitu juga dengan fitnah-menfitnah adalah perbuatan keji yang sangat tidak terpuji. Allah SWT telah secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan dan fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. Dan perbuatan ini merupakan suatu perilaku yang tidak dapat ditoleransi dalam ajaran Islam. Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan(seperti menyiksa, mendatangkan bencana, membunuh dan sebagainya) kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”    (Q.S. Al Buruj : 10)

Demikianlah bahaya yang muncul akibat adanya fitnah-menfitnah, Allah SWT telah menurunkan satu surat yang diawali dengan kutukan yang sangat keras terhadap setiap pengumpat dan pencela. Keseluruhan itu merupakan peringatan akan adanya hukuman yang keras atas kelakuan ghibah danbuhtan.

Oleh karena itu, seyogyanya bagi umat Islam untuk menjaga perkataanya agar tidak tergelincir untuk menceritakan kejelekan orang lain sehingga ia terjerumus dalam perbuatan gibah dan fitnah. Banyak orang yang beranggapan bahwa menceritakan kejelekan orang yang benar-benar dimilikinya adalah tidak apa-apa. Padahal itu adalah perbuatan gibah, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Rasulullah SAW, sedangkan apabila yang dibicarakan itu tidak benar, ia telah berdusta dan melakukan dosa besar, inilah yang dinamakan fitnah atau dikenal dalam ajaran Islam dengan sebutanbuhtan atau kebohongan. Seseorang telah tergelincir lisannya dengan menceritakan kejelekan orang lain, sesungguhnya telah berbuat dosa, sedangkan kejelekan orang yang diceritakannya akan berpindah kepadanya sementara kebaikannya akan berpindah kepada orang yang diceritakannya.

Selain itu, apabila orang yang diceritakannya tersebut mendengar bahwa kejelekannya diceritakan, tentu saja ia akan marah dan hal ini dapat menimbulkan silang sengketa, perselisihan, perpecahan bahkan permusuhan. Oleh karena itu, setiap muslim harus berusaha untuk tidak menceritakan kejelekan orang lain atau lebih baik diam. Hal ini akan lebih menyelamatkannya, baik di dunia maupun di akherat. Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik atau lebih baik diam.”   (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dan apabila mendengar seseorang yang melalukan gibah atau membicarakan hal-hal kotor lainnya tentang seseorang, hendaklah menghindar dari orang tersebut agar tidak terlibat dalam perbuatan tercela tersebut. Dan kalau mampu, tegurlah agar tidak membicarakan kejelekan orang lain.
Sebagaimana Allah SWT memperingati dalam firman-Nya : 
“Dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (Q.S. Al Qashas :55) 

Wallahu A’lam.
Semoga lisan kita di jaga oleh Allah SWT sehingga ucaoan kita tidak mengandung anasir yang sifatnya merendahkan puasa...

Tingkatkan Silaturrahim Ba'da Idul Fitri

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT memperingati dalam Al Qur'an :
“Sesunggunya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”  (Q.S.Hujarat : 10)

Tak terasa hari puasa Ramadhan terus bergulir, pada saat ini kita telah berada pada tanggal 26 Ramadhan, tinggal beberapa hari lagi kita kita akan bertemu dengan Hari Raya ‘Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah, hari kemenangan menuju fitrah bagi umat Islam, kembali membuka lembaran baru di bulan syawal yang penuh berkah. Oleh karenanya seyogyanya bagi kita dalam mengisi lembaran-lembaran putih, suci dan bersih. Lembaran hidup yang siap diisi dengan amaliah dan ibadah demi meraih keridhaan Allah SWT. Idul Fitri akan mendidik kita untuk senantiasa menjalin silaturrahim antara kita, memperbaiki ukhuwah Islamiah, persaudaraan sesama muslim. Betapa tidak ‘Idul Fitri merupakan salah satu sarana yang efektif untuk saling mengunjungi, saling memberi dan saling meminta maaf, baik dengan keluarga, tetangga, sahabat, atau kerabat lainnya. Yang muda mendatangi yang tua, anak sowan kepada ayah bunda, cucu kepada datuknya dan seterusnya. Alangkah indahnya dan sarat dengan nuansa saling mengasihi dan menyayangi sebagai manifestasi dari kuatnya ukhuwah Islamiyah antara kita.
Di negeri kita Indonesia tradisi halal bi halal dilaksanakan oleh kaum muslimin setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan ‘Idul Fitri yang biasanya diisi dengan kegiatan silaturrahim dan saling memaafkan antara sesama. Silaturrahim memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk melakukan islah (perbaikan) kembali antara sesama yang mungkin terputus dan atau renggang sebelumnya, setelah terjadi berbagai persoalan. Diharapkan hubungan (hablum Minannas) akan menguat kembali, setelah hubungan dengan Allah SWT (hablum Minallah) dibangun dengan baik selama bulan suci Ramadhan.

Secara etimologis (bahasa), silaturrahim bermakna menghubungkan kekerabatan dan persaudaraan atas dasar cinta dan kasih sayang sekaligus menghilangkan segala bentuk kebencian, kedengkian, dendam dan permusuhan.
Oleh karena itu, hakekat Silaturrahim, disamping bertemu secara fisik sambil bersalam-salaman, atau mungkin dengan saling berangkulan (mushafahah wa mu’anaqah) juga harus berusaha menebarkan kedamaian, ketenangan dan keselamatan pada sesama atas dasar keikhlasan dan cinta yang lahir dari lubuk hati yang paling dalam. Silaturrtahmi yang dikehendaki Islam adalah pertemuan manusia sebagai pihak yang sejajar. Yang tidak terbelenggu oleh budaya strata sosial / kasta. Oleh karenanya, tidak sepantasnya, berlaku anggapan bahwa yang berstatus tinggi harus menjadi pihak yang didatangi oleh pihak yang berstatus rendah. Tidak terbelenggu oleh atribut-atribut kepangkatanm, jabatan seperti pejabat dengan rakyat, kuli dengan mandor, antara sikaya dengan simiskin. Silaturrahmi harus murni dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, tidak terkotak-kotak oleh status atau embel-embel kepentingan materi duaniawi, sehingga tercemar oleh macam-macam hasrat nafsu diluar tujuan murninya.

Selain itu, silaturrahim juga tidak saja dilakukan dengan orang yang memiliki hubungan baik dengan kita, akan tetapi juga dianjurkan untuk dilakukan dengan orang yang mempunyai masalah atau kurang baik dengan kita. Siapa yang mendahuluinya itulah orang yang mulia disisi Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Yang paling utama diantara perbuatan utama adalah ; engkau melakukan silaturrahim dengan orang yang memutuskannya, engkau memberi kepada orang yang tidak pernah memberi (kikir), dan engkau memaafkan orang yang dzalim kepadamu.”                    (HR. Thabrani dan Mu’adz Bin Jabal)

Dalam hal ini Allah SWT juga berfirman dalam Al Qur’an Surat An Nisa ayat 1 yang bermaksud :
“Dan bertaqwalah kepada Allah SWT yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah SWT selalu menjaga dan mengawasi kamu.(Q.S.An Nisa:1)

Islam memandang penting jalinan tali silaturrahim. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda :“Yang paling cepat mendapat kebaikan (balasan pahala) adalah orang yang berbuat kebajikan dan menyambung silaturrahim, sedang yang paling cepat mendatangkan kejahatan (balasan siksa) adalah orang yang berbuat jahat dan memutuskan hubungan kekeluargaan.” 

Kalau orang berkunjung kepada kita dan kita balas mengunjunginya hal ini sudah selazimnya untuk kita lakukan. Akan tetapi, jika kita mengunjungi dan ber-silaturrahim kepada orang yang tidak pernah berkunjung dan ber-silaturrahim kepada kita, lalu dengan sengaja dan senang hati kita kunjungi dan ber-silaturrahim dengannya, maka disinilah berkah silaturrahim akan kita rasakan begitu bermakna. Apalagi, bila hal ini kita lakukan terhadap orang yang membenci kita, padahal jelas hak kita pernah terambi. Atau hati kita sempat terlukai, tetapi kita yang mendahului untuk mengunjunginya, disinilah kekuatan silaturrahim yang sebenarnya. Sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa yang ingin rizkinya diluaskan dan umurnya dipanjangkan , maka hendaklah ia menghubungkan silaturrahim.  (HR. Bukhari Muslim).

Silaturrahim dapat melapangkan rizki, karena silaturrahim itu dapat mengeratkan hubungan atau persaudaraan antara seorang dengan orang lain. Eratnya hubungan ini dapat menimbulkan kasih sayang diantara kita sehingga kita mau memberi pertolongan dalam usaha di bidang materiil yang membuahkan keuntungan-keuntungan (laba) sehingga rizkinya menjadi bertambah lapang. Silaturrahim ini termasuk perilaku orang yang taqwa, sehingga orang yang bertaqwa sudah dijanjikan oleh Allah SWT akan diberi rizki dan kemudahan, sebagaimana firman Allah SWT :
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluarnya. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”  (Q.S. At Thalaq: 2-3)

Allah SWT memberikan berkah selama perjalanan usia manusia karena selama hidupnya penuh dengan amal perbuatan yang baikdan mulia, termasuk menjalin silaturrahim. Silaturrahim dapat memanjangkan umur. Orang yang mau bersilaturrahim, namanya tetap disebut-sebut meskipun orangnya sudah meninggal dunia; ia masih dipuji dan didoakan karena melaksanakan kewajiban sebagai saudara (kerabat) seolah olah dirinya masih hidup. Inilah kehidupan yang panjang meski dalam perhitungan usia hanya sebentar. Karena memang sebenarnya tolok ukuran untuk kehidupan yang diberkahi itu bukan bulan atau tahun, tetapi keagungan amal perbuatan dan banyaknya pengaruh kebaikan dan kemuliaan yang ditanamkan.

Oleh karena itu, sudah seyogyanya dalam ber'Idul Fityri kita tingkatkan hubungan silaturrahim secara kontinu (terus menerus) antara sesama. Apabila terjadi perselisihan atau salah paham, maka hendaknya kita segera melakukan silaturrahim. karena menjalin kembali hubungan silaturrahim adalah hal yang mudah, asalkan diniatkan dengan sungguh-sungguh dan tulus. Apalagi di tengah-tengah berbagai persoalan yang sering menimbulkan konflik, saling mencurigai, saling menuduh, dan saling menfitnah seperti yang terjadi sekarang ini, maka silaturrahim yang berkualitas dan fungsional dengan langkah-langkah yang jelas merupakan suatu kebutuhan yang harus dilakukan oleh kita semua. Dan tidak terbatas hanya pada saat ber-halal-bi halaldalam suasana ‘Idul Fitri, akan tetapi lebih jauh dari itu silaturrahim harus dilakukan sepanjang hayat dan sepanjang masa. Karena Ukhuwah Islamiyah yang selalu di dengung-dengungkan oleh Rasulullah SAW itu bukan hanya slogan kosong yang tidak punya arti apa-apa. Tetapi ia benar-benar harus dihidupkan, terutama dikalangan umat Islam sendiri. Jangan sampai hanya persoalan sepele menjadi renggangnya persaudaraan kita. Rasulullah SAW telah menegaskan dan mengingatkan kepada kita dalam sabdanya yang bersumber dari Jubair Bin Muth’im RA. Beliau Nabi SAW bersabda : “Tidak masuk syurga orang yang memutuskan persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Wallahu A’lam.Semoga Allah SWT menjadikan bulan syawal 1432 H nanti sebagai moment untuk meningkatkan silaturrahim antara kita dan semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mendapat kemenangan yakni Insan yang bertaqwa, mendapatkan predikat tertinggi dihadapan Allah SWT. "Kami sekeluarga mengucapkan selamat menyambut datangnya Hari Raya 'Idul Fitri 1432 H." Minal 'Aidzin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin".    Sugeng Widodo dan Keluarga Sungai Pakning Bukit Batu Bengkalis Riau

Seumpama Buah Utrujah (Limau Manis) Baunya Harum Rasanya Manis

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
(Q.S. Al Isra’ : 9)

Al Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, membacanya dinilai sebagai ibadah. Ia adalah kitab suci sebagai pedoman jalan hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat, sebagai petunjuk bagi umat Islam yang membedakan antara yang hak dan yang batil. Kebenarannya bersifat unifersal dan berlaku untuk segenap zaman. Al Qur’an sebagai kitab suci, tentu kita harus mempelajari dan memahaminya, dan selanjutnya mengamalkan apa yang diajarkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, dan kita ajarkan kepada generasi-generasi Islam kita di masa yang akan datang. Banyak ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Nabi SAW yang memerintahkan kita untuk membaca, mempelajari, memahami dan merenungkan tentang isi kandungannya, baik yang bersifat anjuran, keutamaan orang yang membaca, ataupun ungkapan tentang manfaat dan pahala membacanya.
Sebagaimana Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”             (Q.S. Al Fathir : 29-30)

Demikian juga Rasulullah  SAW juga pernah bersabda :
“Bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafaat pada pembacanya.”                                                           (H.R. Muslim)
Dengan membaca, mempelajari dan mengajarkannya pengetahuan akan semakin bertambah, baik pengetahuan yang dibutuhkan untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat.
Oleh sebab itu, sebagai umat Islam kita harus tergugah untuk senantiasa membaca, mempelajari dan mendalami serta merenungi isi kandungan Al Qur’an dan benar-benar menjadikannya sebagai pedoman hidup dalam segala aspek kehidupan. Kita harus menanamkan kebiasaan untuk membaca dan mencintai Al Qur’an kepada anak-anak kita. Setidaknya pada waktu-waktu tertentu, misalnya mulai masuk Maghrib sampai Isya’, televisi tidak usah kita nyalakan, kita pergunakan waktu yang utama itu untuk membaca Al Qur’an dan memperdalam ilmu agama. Mengingat pentingnya pendidikan agama di dalam keluarga dan bagaimana jadinya anak-anak kita bila nantinya jauh dari agama dan asing terhadap Al Qur’an sebagai kitab sucinya.

Belajar dan mengajar al Qur’an adalah suatu tugas yang mulia. Seorang mukmin yang meyakini kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman umat Islam mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mempelajari dan mengajarkannya, mulai dari membacanya, memahami isinya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari serta mengajarkannya.      

Namun,  ironisnya ada satu fenomena yang muncul dalam kehidupan masyarakat kita hari ini yaitu mulai berkurang dan semakin terkikisnya kebiasaan membaca Al Qur’an. Diantara kita masih banyak yang suka meluangkan waktu untuk membaca koran, majalah, surat kabar, nonton acara televisi daripada membaca Al Qur’an. Banyak mushaf Al Qur’an yang dipenuhi debu karena jarang disentuh untuk dibaca dan dipelajari. Sementara yang ada dalam genggaman remot televisi. Kalau kebiasaan seperti ini tidak kita tanggulangi sedini mungkin, bisa jadi anak dan keluarga kita nanti akan semakin jauh dan asing dari Al Qur’an, padahal ia adalah kiab suci yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia akhirat.

Diceritakan dari Abu Musa r.a. berkata, Rasulullah SAW. Bersabda : “Orang mukmin yang membaca al Qur’an adalah seumpama buah utrujah (limau manis) yang baunya harum dan rasanya manis, orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an adalah seumpama buah kurma yang tidak mempunyai bau harum walaupun rasanya manis, orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah seumpama bunga raihan yang baunya harum tetapi rasanya pahit, dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an adalah seumpama buah hanzhalah yang tidak berbau harum dan rasanya pahit.” (H.R. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majjah).

Hadits diatas bermaksud membandingkan antara sesuatu yang abstrak dengan yang nyata, sehingga pikiran kita mudah membedakan antara yang membaca Al Qur’an dengan yang tidak membacanya. Walaupun benda-benda tersebut, seperti limau manis dan kurma tidak bisa dibandingkan kemanisan dan keharuman membaca Al Qur’an. Tetapi keistimewaan dalam perbandingan dalam hadits diatas menjadi bukti luasnya ilmu nubuwwahdan betapa dalamnya pemahaman Rasulullah SAW, serta menegaskan kepada kita betapa mulianya orang mukmin yang senantiasa membiasakan diri dengan bacaan Al Qur’an seumpama buah utrujah (limau manis) yang baunya harum dan rasanya manis. Orang yang membaca Al Qur’an dan sekaligus mengamalkan isinya baunya semerbak karena orang-orang yang mendengarkannya dapat mengambil manfaat dari apa yang didengarnya, sedang dia sendiri suci dan bersih lantaran telah memanfaatkan petunjuk Al Qur’an.
Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya.” (H.R. Bukhari)

Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus segera menyadarinya dan kembali kepada jalan yang benar dengan berpegang teguh pada kitab suci Al Qur’an dengan jalan membaca, mempelajarinya, memahami isi kandungannya dan mengamalkannya dalam kehidupan kita serta mengajarkan kepada generasi Islam kita. Semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai Al Qur’an, senang membacanya, mempelajari dan mengamalkannya, sehingga kita benar-benar mendapatkan kebahagiaan hidup dalam penerangan cahaya Al Qur’an dan masuk syurga yang penuh kenikmatan dalam naungan ridha Allah SWT dengan syafaat Al Qur’an. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam.