Thursday 16 October 2014

Kewajiban Orang Tua Memenuhi Hak Anak

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Salah satu amanah dari Allah SWT yang harus mendapat perhatian kita secara serius adalah anak. Di dalam perkembangan dan pertumbuhannya menurut Syekh Imam Ghozali terbagi menjadi 3 (tiga ) bagian ; anak adalah bunga-bunga kehidupanmu ; anak adalah pembatu dalam kehidupanmu ; anak adalah temanmu atau anak adalah musuhmu.

Oleh karena itu, sebagai orang tua harus memperhatikan keadaan anaknya, terutama dalam hal pendidikan mereka, agar kelak menjadi anak yang shaleh, yakni anak sebagai bunga-bunga, pembantu, dan teman dalam kehidupan orang tua. Apabila anak itu shaleh, tenanglah hati orang tuannya. Ia akan senantiasa menyenangkan hati kedua orang tuanya baik dikala hidupnya maupun matinya. Ia memberi manfaat kepada mereka di dunia dengan ketaatan dan kebajikan, pergaulan yang baik dan bertawadhu’ kepada mereka berdua. Apabila mereka sudah berada di alam kematiannya, ia pun memberi manfaat dengan do’a untuknya dan memohon belas kasihan Allah untuknya dengan sedekah dan istighfar sehingga kedua orang tuannya di alam kubur berturut-turut menerima amal kebajikan dan amal ketaatan anaknya yang shaleh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amal-amalnya kecuali tiga perkara yaitu ; sedekah jariyah, anak yang shaleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya dan ilmu yang bermanfaat”
Adapun sebab-sebab pokok yang bisa membentuk putra putri menjadi anak yang shaleh adalah menunaikan kewajiban mereka, meneliti kebutuhan dan hal ihwal mereka, melatih mereka dengan disiplin untuk melaksanakan syari’at agama, tanpa adanya kekerasan dan kekasaran, namun juga tidak meremehkan dan melupakan atau keteledoran di dalam mengawasi mereka sehingga mereka (putra-putri) mampu mensikapi dan meneladani perilaku para pendahulu mereka dengan mempercepat langkah-langkah betis kesungguhan dan kemauan. 

Ada beberapa hal yang menjadi hak anak, yang menjadi kewajiban bagi orang tua, yaitu :

Pertama ; Memberi nama anaknya dengan nama yang baik dan terpuji.
Nama adalah do’a agar hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat, dengan memberikan nama yang baik dan terpuji berarti sebagai permohonan dan harapan agar anaknya menjadi seorang anak yang shaleh. Orang tua berkewajiban memberi nama anak yang baik dan terpuji seperti Muhammad, Ahmad, Abdullah, Abdurrahman dan nama-nama lain yang bermakna baik, dan ini akan menciptakan anak-anak yang selalu optimis dalam kehidupannya. Sebaliknya orang tua tidak boleh memberi nama yang tidak baik terhadap anak-anaknya, seperti si jahal (bodoh), si fakhisah (keji) dan nama-nama yang tidak baik lainnya, ini dapat membuat anak pesimis dalam hidupnya baik dengan dirinya apalagi dengan orang lain.

Kedua ; Menanamkan iman dan akhlak kepada putra putrinya.
Adalah Lukmanul Al Hakim mementingkan pendidikan iman sebagai dasar kehidupan bagi putranya, ia mendidik anaknya supaya tidak berbuat syirik kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".                                                                                        (Q.S. Lukman : 13)
Orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai agama, pendidikan iman terhadap putra-putrinya sebagai upaya agar mereka selalu menepati kewajiban-kewajiban syari’at, aktif dalam menunaikan shalat dan semua ibadah yang diwajibkan Allah SWT kepada mereka, menjunjung tinggi segala perintah Allah dan tidak meremehkannya. Begitu juga akhlakul karimah, ia mempunyai peranan penting dalam segala segi hidup dan kehidupan manusia lahir batin, dengan kekokohan akhlakul karimah lambat laun sifat-sifat yang tercela yang semula mendarah daging itu terlepas dan tergusur dari realitas kehidupan sehingga ia tidak melanggar norma-norma kesusilaan, tidak terjerumus dalam lembah kemungkaran dan kemaksiatan.

Ketiga ; Memberikan nafkah yang halalan tayyiban (halal lagi baik).
Makanan terhadap agama laksana pondasi dari suatu bangunan. Jika pondasinya teguh dan kuat, bangunan akan tegak dan menjulang kokoh. Namun jika pondasi itu rapuh dan bengkok maka bangunan akan runtuh. Makanan sangat berpengaruh terhadap pribadi seseorang baik atau buruk. Oleh karena itu agar anak mempunyai pribadi yang baik, sebagai orang tua harus teliti dan hati-hati di dalam setiap pekerjaan, berusaha dan bekerja dalam bidang usaha yang halal dan bukan merupakan pekerjaan yang di larang agama.
Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.”
(Q.S. Al Mukminun :51)
Dari ayat tersebut mengandung makna bahwa memakan sesuatu yang halal terlebih dahulu sebelum menunaikan amal shaleh.

Keempat ; Mengajarkan kecintaan pada Al Qur’an kepada putra putrinya.
Al Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pegangan hidup bagi orang yang beriman dalam melaksanakan syari’at Islam, yang harus di mengerti oleh umat Islam. Ia merupakan sumber ilmu dan juga undang-undang dalam kehidupan menuju keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anaknya, mulai dari membaca, memahami sehingga dapat mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan. Rasulullah SAW bersabda :
“Hendaklah engkau membaca Al Qur’an, sebab ia adalah cahaya bagimu di bumi dan simpananmu di langit”.                                       (H.R. Ibnu Hibban)

Kelima ; Menikahkan anak, apabila telah dewasa dan berkemampuan.
 Jika putra putrinya telah dewasa dan telah berkemampuan, maka kewajiban berikutnya sebagai orang tua adalah menikahkannya, karena apabila tidak dinikahkan, maka orang tuanya pun ikut menangung dosanya, jika dia sampai melanggar atau berbuat zina. Oleh karena itu orang tua harus mencarikan jodoh untuk anaknya dengan pasangan yang sesuai (kuf-u), utamanya dari segi agama dan akhlakul karimah. Rasulullah SAW bersabda :
“Perempuan itu dinikahkan karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikan dan agamanya. Maka dari itu dapatkanlah perempuan yang baik agamanya, tentulah kedua tanganmu akan tenang (kehidupanmu menjadi tenang dan harmonis).”                    (H.R. Bukhari dan Muslim)
Agama adalah faktor penentu keselamatan dan kebahagiaan kehidupan rumah tangganya baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan selain itu seperti harta, kecantikan maupun nasab itu dapat sirna dan lenyap apabila ia sendiri lemah iman dan rusak akhlaknya. Inilah pentingnya orang tua menunaikan hak anak-anaknya sehingga di masa yang akan datang mereka menjadi anak yang shaleh yang berguna, taat berbakti kepada agama, orang tua, bangsa dan negara.

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”     (Q.S. Al Furqan : 74)

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita untuk dapat mencapai kedamaian dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat serta memperoleh anak-anak yang sholeh sholehah berbakti kepada agama orang tua bangsa dan negara. Amin.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam.

Lima Nasehat Agama

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”                                                                 (Q.S. Al Hasyr : 18)

Alhamdulillah, hari ini kita telah sampai pada tanggal 26 Dzulhijah 1432 H, beberapa hari lagi kita akan memasuki detik-detik peralihan dari tahun 1432 H ke tahun 1433 H. Sebelum memasuki hari-hari yang baru seyogyanya bagi kita untuk senantiasa melakukan “Muhasabah” membuat perhitungan dan neraca untung rugi apa yang telah kita lakukan. mari sama sama kita hilangkan persepsi  persepsi sementara orang bahwa dengan bertambahnya tahun, maka akan bertambah pula umurnya. 
Ini adalah persepsi yang sangat keliru. Bertambahnya tahun, bukan berarti bertambahnya umur kita, tetapi bertambahnya tahun berarti akan memberikan pelajaran yang tidak sedikit dalam perjalananan hidup kita. Dan bagi umat Islam waktu maupun hari, apapun yang berlaku di alam semesta ini adalah dalam genggaman Allah “Allah Malikal Mulk”.

Dalam haditsnya Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Barangsiapa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka dialah orang yang rugi. Dan barangsiapa hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka dialah orang yang tercela”.
Oleh karena itu tidak ada pilihan yang lain bagi kita kecuali memilih yang pertama, yakni menjadi orang yang beruntung, dengan bertekad untuk meningkatkan kualitas hidup di masa-masa yang akan datang.
Diceritakan dari Abu Hurairah ra, suatu ketika ditengah-tengah para sahabatnya Rasulullah SAW menyampaikan satu penawaran (motivasi agar para sahabatnya semakin bertaqwa kepada Allah SWT). Penawaran ini terkenal dalam literatur-literatur Hadits disebut sebagai lima prinsip ajaran yang sangat penting atau lima nasehat agama.
Adapun lima nasehat agama yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW itu adalah :

Pertama :“Ittaqil maharim takun ‘abadan-nas“
(Hindarilah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, niscaya engkau menjadi orang yang paling baik ibadahnya kepada Allah SWT)
Agar nilai ibadah kita diperhatikan dan diterima oleh Allah SWT, ada sisi-sisi tertentu yang sangat penting harus diperhatikan, yakni bahwa ibadah yang kita lakukan jangan sampai sedikitpun tercampur dengan aktifitas maksiat kepada Allah SWT sehingga menjadi orang yang bersih. Orang yang bersih akan selalu menghindar dari kemungkaran dan kemaksiatan, dan tidak akan ikut berbuat kemungkaran dan kemaksiatan meskipun dalam lingkungan dan suasana yang mungkar dan maksiat. Dengan demikian antara ibadah yang kita jalankan sinkron dengan kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Kedua    :”Wardla bima qasamullahu laka takun aghan-nas”
(Terimalah dengan suka cita, senang hati pa yang sudah diberikan Allah kepadamu niscaya engkau akan menjadi orang yang merasa kaya).
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita memang ke sana ke mari mengejar rezki bagaikan burung-burung ketika mencari makan. Tetapi kalau burung setiap sore hari sudah merasa puas dan pulang ke sangkarnya, namun kebanyakan manusia banyak yang merasa tidak puas bahkan menggerutu kepada Allah SWT.  Rasulullah SAW bersabda :
“Seandainya cucu Adam memperoleh dua lembah yang berisi emas, niscaya dia akan meminta tiga lembah’                                                       (Muttafaqun ‘Alaih)
Penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran baik yang berkaitan dengan ekonomi maupun lainnya adalah ketidak puasan yang sering muncul dalam hati manusia. Akan tetapi kalau seseorang bersifat “Qonaah”, Insya Allah akan menjadi orang yang lurus dan tidak terseret ke dalam perbuatan yang tidak di ridhai oleh Allah SWT.

Ketiga    :”Wa-ahsin jarika takun mukminan”
(Berbuat baiklah kepada tetangga niscaya kamu menjadi mukmin sejati)
Salah satu syarat kesempurnaan iman kita diukur dari sejauh mana sikap baik kita kepada tetangga. Bahkan interaksi kehidupan bertetangga ini menjadi tolok ukur sejauh mana shalat, puasa dan hajinya patut diterima oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah menjelaskan bahwa seseorang yang mulut dan perilakunya menyakiti tetangga, sungguhpun tekun, zakatnya banyak, puasanya penuh, hajinya berkali-kali, maka dia adalah ahli neraka. Naudzubillahi min-dzalik. Oleh karena itu disamping kita meningkatkan kualitas ibadah, kita patut menjaga kualitas pergaulan kita yang Islami, berbuat baik kepada tetangga baik tetangga dekat maupun tetangga jauh.

Keempat:”Wa-ahibba linnasi ma-tuhibbu linafsihi takun musliman”
(Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri niscaya engkau menjadi muslim sejati).
Kesimpulan kita terkadang ternoda oleh sikap kita sendiri, dan kesempurnaan Islam kita juga merupakan hasil upaya kita dalam berbuat sebaik-baiknya kepada diri kita dan orang lain.
Diceritakan dari Anas Bin Malik ra. Rasulullah Saw bersabda :
“Orang belum dapat merasakan kemanisan iman, sampai ia dapat mencintai orang lain yang hanya dicintainya karena Allah saja, sampai ia lebih suka dilemparkan ke dalam api daripada kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya ; dan sampai ia mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lainnya”                                                        (H.R. Bukhari).
Dari hadits ini kiranya dapat kita jadikan sebagai pelajaran bahwa apapun yang kita senangi, baik berupa kebahagiaan maupun kebaikan yang telah kita kenyam seyogyanya dapat pula dikenyam oleh saudara-saudara -.sesama umat Islam.

Kelima   :”Wala tuktsiridlihiki fa-inna katsratadh-dhihiki tumitulqalb”
(Janganlah engkau terlalu memperbanyak tertawa, sebab banyak tertawa akan membuat hati mati).
Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Barangsiapa yang tertawa pada masa mudanya, dia akan menangis pada masa pikunnya. Dan barangsiapa yang tertawa pada masa hidupnya, dia akan menangis pada waktu matinya”. 
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah SAW juga bersabda :
“Bacalah Al Qur’an dan meangislah. Kalau kamu tidak dapat menangis, maka berpura-pura menangislah (berusaha menangis”
Inilah Lima Nasehat Agama yang sangat penting yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Abu Hurairah ra.dan para sahabat lainnya. Semoga kita dapat mengamalkannya, senantiasa berusaha terus menerus meningkatkan taqwa kepada Allah SWT sepanjang hidup ini sampai kita memperoleh kepastian bahwa ketika kita dipanggil oleh Allah SWT memang berada dalam Islam dan dalam ketaqwaan yang prima, serta termasuk golongan orang-orang yang beruntung yang senantiasa mendapat ridho Allah SWT. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Semoga Bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tuntutan Membaca dan Keutamaan Menuntut Ilmu

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”   (Q.S. Al Mujaddalah :11)

Belajar atau menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan dari mulai buaian ibunya sampai keliang lahat. Bahkan Rasulullah SAW juga pernah memerintahkan kepada kita semua melalui sabdanya :
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. ”  (H.R. Ibnu Abdul Bari)

Allah SWT memberikan perintah pertama melalui wahyu Al Qur’an bukan shalat, bukan mengeluarkan zakat, bukan puasa di bulan Ramadhan, bukan menunaikan haji, juga bukan kepedulian sosial. Syari’at pertama yang terkait dengan turunnya Al Qur’an adalah perintah “Iqra bismi Rabbikalladzi khalaq”, Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Artinya dua hal yang standar dan basic untuk hidup kita adalah ilmu pengetahuan dan iman. “Iqra’ merupakan lambang ilmu pengetahuan dan teknologi dan “Bismi Rabbika“ adalah lambang iman dan taqwa.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah-Nya di atas bumi yang bertugas untuk menyelenggarakan suatu kehidupan bahagia penuh kemaslahatan baik di dunia maupun di akherat berdasarkan hukum dan ketentuan yang terkandung dalam tuntunan-Nya, yakni agama Islam. Tentunya, dua tugas hidup ini tidak akan berhasil tanpa adanya ilmu.

Rasulullah SAW memberikan penjelasan melalui sabdanya :
“Barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di dunia wajib atasnya untuk mengetahui ilmunya ; dan barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di akherat maka wajib atasnya untuk mengetahui ilmunya ; dan barangsiapa  yang menghendaki kebahagiaan keduanya maka wajib atasnya mengetahui ilmunya .”                  

Menuntut ilmu adalah pekerjaan yang utama dan mulia. Ilmu merupakan syarat yang paling utama untuk mencapai keberhasilan hidup bahagia dunia dan akherat. Allah SWT memberikan keutamaan kepada orang yang berilmu. Sebagian keutamaan ilmu atas ibadah karena ilmu dapat bermanfaat untuk orang lain, sedangkan ibadah hanya terbatas pada pelakunya saja. Allah SWT memerintahkan agar diantara kita ada sekelompok orang yang mencari ilmu dan diberi tugas untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain sebagaimana Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”  (Q.S. At Taubah : 122) 

Rasulullah SAW juga pernah bersabda :
“Tiap orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu lalu ia sembunyikan, maka Allah akan mengendalikan mulutnya pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka”.   (H.R. At Thabrani)

Orang yang belajar kemudian menyampaikannya kepada orang lain sangat dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, penduduk langit dan bumi, daratan dan laut memintakan ampunan baginya, dia akan diberi pahala tujuh puluh nabi, setan lebih sulit menggoda seorang yang berilmu daripada seribu orang ahli ibadah. Dua rakaat yang dilakukan oleh orang yang berilmu lebih utama daripada 70 (tujuh puluh) rakaat yang dilakukan oleh orang yang bodoh.

Rasulullah SAW bersabda :
“Kelebihan orang yang berilmu terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang.”                     (H.R. Abu Dawud)

Orang yang berilmu memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, jika mereka mengamalkan ilmu yang ia miliki. Sebaliknya jika mereka mengabaikan kewajibannya, maka mereka akan mendapatkan siksa yang lebih besar daripada orang yang bodoh dan akan menimbulkan bahaya, bukan hanya untuk dirinya bahkan orang lain, berbanding dengan orang yang bodoh hanya menjadi beban keatas dirinya. Apabila orang yang berilmu melakukan dosa, maka Allah akan melipat gandakan dosanya karena mereka berbuat dosa sedangkan mereka mengetahui, sebaliknya orang yang bodoh berbuat dosa karena tidak mengetahuinya. Kedudukan orang yang berilmu di sisi Allah SWT dan di tengah-tengah masyarakat adalah sebagai balasan atas ilmu dan amalan ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini Allah SWT memperingati dalam firmanNya :
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az Zumar : 9)
Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai umat Islam adalah memenuhi hajat membaca dan menuntut ilmu itu serta meningkatkan kemampuan akal dan pikiran dalam diri kita, ahli keluarga, dan masyarakat kita, yakni dengan lebih banyak menyediakan dan menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran, baik berupa perpustakaan pribadi maupun umum yang dapat menyediakan bahan-bahan bacaan yang sesuai dan bermutu, sekolah-sekolah umum, madrasah-madarasah, perguruan tinggi, ataupun tempat-tempat pengajian agar terlaksana dengan lancar dan membuahkan hasil yang positif dalam meningkatkan ilmu, iman dan taqwa sebagai modal untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Ada satu pepatah yang mengatakan :“Dengan membaca engkau ketahui dunia dengan menulis engkau pengaruhi dunia.” Ini tidak dapat dinafikan dalam perjalanan sejarah kemajuan peradaban suatu bangsa, bahwa semakin mantap dan bermutu bacaan suatu umat semakin tinggi peradabannya, begitu juga sebaliknya. Hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju yang mempunyai peradaban yang tinggi. Mereka adalah bangsa yang rajin membaca dan menjadikan budaya membaca sebagian dari keperluan hidup mereka sehingga sampai saat ini lahir karya-karya besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Harapan kita supaya adanya ajakan mengubah cara berpikir di kalangan masyarakat untuk menjunjung tinggi budaya membaca dan menuntut ilmu sehingga akan lahir masyarakat yang berfikir dan menjadi sebuah negara yang madani (Baldatun Tayyibatun Wa Rabbun Ghafur).
Wallahu A’lam.

Amanah Dalam Bekerja Dan Niat Ibadah

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an :
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”  (Q.S. An Nur :37) 

Manusia sebagai makhluk hidup, tentulah membutuhkan makan, minum, pakaian, rumah (tempat tinggal) dan lain-lain, baik yang bersifat primer maupun skunder. Ini adalah fakta sejarah kehidupan manusia yang tak terbantahkan. Akan tetapi, di sisi lain manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna dan mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu mengemban amanah (tugas dan tanggung jawab) dari Allah SWT. Tugas dan tanggung jawab tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila manusia mau berusaha dan berikhtiar, begitu juga kegiatan-kegiatan dalam usahanya untuk mencari rizki memenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik kebutuhan pribadinya atau orang lain terutama orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya di bidang ekonomi, maka manusia harus bekerja keras sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Tentunya, dalam memenuhi semua itu dan tujuan-tujuan hidupnya yang lain tidak laksana binatang yang tidak berakal, melainkan haruslah sesuai dengan kehendak dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan illahi, dengan cara-cara yang bermoral, sebagaimana yang diajarkan agama. Kita harus berpegang teguh pada komitmen keislaman kita yang senantiasa kita ikrarkan dihadapan Tuhan ketika kita menunaikan shalat.

Allah SWT berfirman :
 “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya karena Allah SWT, pemelihara seluruh alam.”             (Q.S. Al An’am : 162) 

Setiap usaha dan pekerjaan mencari kebutuhan hidup hendaklah disertai harapan mendapat anugerah dan karunia Allah SWT dengan niat ikhlas beribadah karena Allah SWT, bukan semata-mata mengharapkan balasan duniawi saja seperti gaji dan kemudahan lainnya tetapi juga mengharap balasan yang kekal di akhirat. Setiap usaha dan pekerjaan hendaklah memancarkan ruhul Islam, nilai-nilai Islam yang menjadi potret  kepribadian seorang muslim, senantiasa dihiasi dengan niat yang tulus dimulai dengan membaca Bismillah untuk mengingatkan pelakunya tentang tujuan akhir yang diharapkan dari pekerjaanya serta menyadarkan diri tentang karunia Allah SWT sehingga pekerjaan yang ia laksanakan bermanfaat dan menjadi amal shaleh. Oleh karena itu, agar usaha dan pekerjaan kita bernilai ibadah hendaklah dalam bidang usaha yang halal bukan merupakan pekerjaan yang dilarang agama. Mencari harta yang halal hukumnya wajib.

Perhatikan sabda Rasulullah SAW :
“Mencari harta yang halal itu wajib bagi setiap orang Islam.”   (HR. Tabrani). 

Islam telah mengajarkan bagaimana seharusnya pandangan dan sikap hidup seorang muslim dalam berusaha dan berikhtiar memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Setiap orang dituntut agar bekerja dengan sungguh-sungguh, benar dan jujur penuh tanggung jawab, baik dan teliti bukan “asal jadi” saja. Tidak melakukan kecurangan dan penipuan dalam setiap pekerjaan yang dilakukkannya. Jujur dalam bekerja adalah modal utama untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Dengan jujur kita akan memperoleh kepercayaan orang lain sehingga membuka peluang untuk memperoleh hasil kerja yang halal. Kejujuran merupakan jalan menuju syurga.

Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Sungguh kejujuran itu menunjukkan pada kebajikan. Dan kebajikan itu menunjukkan ke syurga. Sesungguhnya orang yang benar dan jujur ditetapkan disisi Allah sebagai ahli kebenaran. Sungguh dusta mendorong pada kekejian. Dan kekejian itu menunjukkan ke neraka. Sesungguhnya orang yang melakukan kedustaan itu dicatat oleh Allah SWT sebagai ahli dusta.”       (Muttafa ‘Alaih).

Bekerja dan berusaha mencari nafkah hendaklah tidak melalaikan dirinya dari mengingat Allah SWT, tidak mengabaikan kewajiban kepada-Nya atau tidak melupakan kepentingan akhirat, melainkan senantiasa mengingat Allah SWT dan bersyukur kepada-Nya. Dengan senantiasa mengingat kepada Allah dan senantiasa bersyukur kepada-Nya usaha dan pekerjaan kita menjadi mulia dan bernilai ibadah. Sebab tidak sedikit orang bekerja ke sana ke mari mencari kekayaan duniawi tetapi ia melupakan kepentingan dan keselamatan akhirat, meninggalkan kewajibannya kepada Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Padahal sesungguhnya kepentingan kebahagiaan akhirat yang bersifat abadi itulah yang harus diutamakan.

Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”  (Q.S. Al Jumuah : 10)

Al Qur’an menegaskan hubungan yang sangat erat antara waktu dan kerja keras. Berbeda orang yang beriman dengan orang barat yang mengatakan :The time is money waktu adalah uang,  bagi orang yang beriman tiada waktu tanpa beramal shaleh. Karena Allah SWT melalui firman-Nya dalam Al Qur’an tidak memberikan peluang sedikitpun bagi seorang muslim untuk bermalas-malasan apatah lagi mengganggur dalam kehidupan ini.

Sebagaimana Allah SWT memperingati dalam firman-Nya :
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”  (Q.S. Al Insyirah : 7 )
Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan kemudian ia menyelesaikan tersebut dengan baik, maka hendaklah ia melakukan pekerjaan lain pula. Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat diatas bahwa ; apabila kamu (Muhammad) telah selesai berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah, dan ada lagi yang meengatakan ; apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat. Islam juga mengajarkan perlu adanya gotong royong, kerjasama dalam bekerja seperti pepatah kita mengatakan “berat sama dipikul ringan sama dijinjing.” Kerjasama dalam arti hal-hal yang baik dan dalam ketaqwaan bukan pada keburukan dan bukan pula pada perbuatan dosa.

Allah SWT memperingati dalam berfirman-Nya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”   (Q.S. Al Maidah : 2)

Pekerjaan dapat dilaksanakan dengan mudah dan akan memperoleh kesempurnaan apabila dilaksanakan dengan semangat kerjasama yakni saling bantu membantu dalam semua pekerjaan. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan anugerah dan rahmat-Nya kepada kita, usaha yang kita lakukan menjadi lancar, membawa hasil yang baik, diberkahi dan diridhai oleh Allah SWT sebagai modal hidup di dunia dan mengantarkan keselamatan kita kelak di akhirat.
Wallahu a’lam

Sighat Taklik Menurut KHI dan Fatwa Hukum Islam

Oleh : Sugeng Widodo, S.HI


Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral dalam pandangan agama Islam, bermakna ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Dalam melangsungkan pernikahan, peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi peraturan agama Islam hasrus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunya.


Sahnya Perkawinan Menurut Negara

Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan tersebut. Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. (Lihat Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasan umum UU Perkawinan)

Melaksanakan UU Perkawinan Tersebut?

Agama Islam tidak mengatur lalu lintas, misalnya lampu bang-jo, lampu merah tanda berhenti, lampu hijau artinya jalan; namun apakah dengan tidak diaturnya hal tersebut menunjukkan bolehnya kita melanggar hal tersebut? Berhenti ketika lampu merah bukan suatu kemaksiatan, jalan ketika lampu hijau demikian juga. Hal tersebut bukanlah kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karenanya mesti ditaati. Kalau kita melanggar berarti kita melanggar aturan agama, bukankah kita mesti taat kepada pemerintah? Tentunya ketaatan dalam hal yang baik, bukan dalam kemaksiatan. Demikian juga dengan peraturan-peraturan yang ada di negara kita, tidak terkecuali di bidang perkawinan. Selama peraturan tersebut bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah, peraturan tersebut mesti kita indahkan.

Sighat Taklik

Sighat taklik adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. (KHI Pasal 1 huruf e) Sighat taklik ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya.

Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat taklik talak) tidak ada tuntunannya dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai bid'ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal ini membuat mereka enggan (baca:tidak mau) untuk mengucapkannya. Kalaupun mengucapkan, itu karena terpaksa. Terkadang, mempelai yang mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA setempat).  Mempelai yang bersangkutan berpendirian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya terpenuhi syarat dan rukunya h). Oleh karena itu, ia tidak harus melakukan sighat taklik talak tersebut.

Sementara Pegawai Pencatat Perkawinan ataupun pihak lainnya yang berkepentingan (misal: keluarga mempelai putri) bersikeras agar mempelai laki-laki membaca sighat taklik talak. Mereka tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki;  aturan negara mesti ditegakkan. Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut terjadi di hadapan tamu undangan pada hari H. Di satu pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya bersikeras menolak. Selain  mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal bagi tamu undangan.

Sighat Taklik menurut KHI dan Fatwa MUI Menurut KHI, perjanjian Sighat taklik bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat (3),"Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa perjanjian taklik talak bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim.

Menurut Fatwa MUI

Hasil Sidang komisi Fatwa MUI, yang berlangsumg diruang rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum dalam sighat taklik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur bahwa perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan.

Berdasarkan uraian diatas jelas bagi kita kedudukan sighat talik talak ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut bukanlah suatu keharusan (tidak wajib), demikian juga dengan Komisi fatwa MUI. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang tidak mau membaca sighat taklik talak, tak perlu risau. Tidak ada yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai akad nikah. Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar segala sesuatu dibicarakan beberapa hari sebelum akad nikah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.

Semoga Bermanfaat. Wallahu’alam.