Oleh : Sugeng Widodo, S.HI
Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral dalam pandangan agama Islam, bermakna ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Dalam melangsungkan pernikahan, peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi peraturan agama Islam hasrus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunya.
Sahnya Perkawinan Menurut Negara
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan tersebut. Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. (Lihat Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasan umum UU Perkawinan)
Melaksanakan UU Perkawinan Tersebut?
Agama Islam tidak mengatur lalu lintas, misalnya lampu bang-jo, lampu merah tanda berhenti, lampu hijau artinya jalan; namun apakah dengan tidak diaturnya hal tersebut menunjukkan bolehnya kita melanggar hal tersebut? Berhenti ketika lampu merah bukan suatu kemaksiatan, jalan ketika lampu hijau demikian juga. Hal tersebut bukanlah kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karenanya mesti ditaati. Kalau kita melanggar berarti kita melanggar aturan agama, bukankah kita mesti taat kepada pemerintah? Tentunya ketaatan dalam hal yang baik, bukan dalam kemaksiatan. Demikian juga dengan peraturan-peraturan yang ada di negara kita, tidak terkecuali di bidang perkawinan. Selama peraturan tersebut bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah, peraturan tersebut mesti kita indahkan.
Sighat Taklik
Sighat taklik adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. (KHI Pasal 1 huruf e) Sighat taklik ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya.
Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat taklik talak) tidak ada tuntunannya dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai bid'ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal ini membuat mereka enggan (baca:tidak mau) untuk mengucapkannya. Kalaupun mengucapkan, itu karena terpaksa. Terkadang, mempelai yang mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA setempat). Mempelai yang bersangkutan berpendirian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya terpenuhi syarat dan rukunya h). Oleh karena itu, ia tidak harus melakukan sighat taklik talak tersebut.
Sementara Pegawai Pencatat Perkawinan ataupun pihak lainnya yang berkepentingan (misal: keluarga mempelai putri) bersikeras agar mempelai laki-laki membaca sighat taklik talak. Mereka tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki; aturan negara mesti ditegakkan. Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut terjadi di hadapan tamu undangan pada hari H. Di satu pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya bersikeras menolak. Selain mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal bagi tamu undangan.
Sighat Taklik menurut KHI dan Fatwa MUI Menurut KHI, perjanjian Sighat taklik bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat (3),"Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa perjanjian taklik talak bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim.
Menurut Fatwa MUI
Hasil Sidang komisi Fatwa MUI, yang berlangsumg diruang rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum dalam sighat taklik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur bahwa perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan.
Berdasarkan uraian diatas jelas bagi kita kedudukan sighat talik talak ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut bukanlah suatu keharusan (tidak wajib), demikian juga dengan Komisi fatwa MUI. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang tidak mau membaca sighat taklik talak, tak perlu risau. Tidak ada yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai akad nikah. Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar segala sesuatu dibicarakan beberapa hari sebelum akad nikah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.
Semoga Bermanfaat. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment