Tuesday, 23 August 2016

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Dan Hukum Islam


Oleh : SUGENG WIDODO, S.HI


Setiap orang di dunia ini tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang da menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih terus akan terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk mencari dan mewujudkan keadilan, menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ekses ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan kepada korban.
Salah satu fenomena kekerasan terhadap manusia yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Relasi suami-isteri yang timpang masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak.

Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?

Menurut UU No 23 Tahun 2004.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut pasal 1 angka 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Menurut Islam.
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS.Ar-Rum : 21). “
Dalam ayat lain disebutkan :
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS:An-Nisa: 129).
Allah SWT juga berfirman :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
(Q.S. Al-A’râf, 7:56).

Bentuk KDRT Dalam Rumah Tangga
Adapaun beberapa contoh yang bisa dikategorikan sebagai KDRT, antara lain:
1.        Menjadikan pukulan sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.
2.        Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek, dll).
3.        Mendiamkan isteri di luar rumah tanpa keperluan.
4.        Memukul wajah.
5.        Memukul di luar batas kewajaran.
Ingatlah syari’at islam tidak membolehkan dan tidak mensyariatkan kecuali untuk kebaikan manusia seluruhnya, dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak dan mengganggu manusia. Karena itu, marilah kembali merujuk kepada Islam dalam melihat dan mengamalkan semua amalan keseharian kita.

Larangan berbuat kekerasan kepada isteri
Islam tidak pernah membenarkan seorang suami bertindak kejam terhadap istrinya baik secara lahir maupun secara batin. Karena Islam adalah agama yang mempunyai nilai-nilai prinsipil seperti nilai egalitarian, keadilan, dan kemanusiaan. Berikut ini ayat-ayat Alqur-an dan hadist nabi yang mengharuskan suami untuk berlaku sopan, penyayang dan lemah lembut kepada istrinya.
Allah SWT berfirman :
"Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka…. sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan". (QS. An-Nisa:19)
Dalam Surat yang lain disebutkan :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS.Ar-Rum : 21). “
Pada intinya firman Allah SWT diatas menyuruh kepada suami istri untuk hidup saling sayang menyayangi dan cinta mencintai. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda
"Yang paling baik dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya"
(HR. Tarmizi).
Dalam hadistnya Rasulullah SAW juga bersabda :
"…Para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu" (HR.Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dalam hadistnya yang lain Rasulullah SAW bersabda :
"Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah SWT"
(HR. Abu Daud dengan isnad yang shahih).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa salah satu tujuan berumah tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi, dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Karena itu kekerasan dalam rumah tangga tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sebagai penutup kita perlu memperhatikan dua hal dibawah ini :
1.        Sabar Menghadapi Isteri.
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An Nisâ : 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lainnya” (HR. Muslim )
Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan istri sebagai sebab untuk melampiaskan amarah. Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang oleh isteri beliau, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha disifati sebagai berikut:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau membalas karena Allah” (HR. Muslim)
Al-Alusi rahimahullah berkata :
“Dan jelas, bahwasanya menahan diri dan sabar terhadap isteri  lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan yang kuat”.
2.        Islam Menghormati dan Memuliakan Wanita.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali jika diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini, kita istilahkan dengan ketegasan. Islam memberikan kedudukan sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang menunjukkan penghormatan tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat ini ialah yang paling baik memperlakukan isterinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya; dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri mereka” (HR at-Tirmidzi)
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul” (HR al-Baihaqi)
Salah seorang rawi hadits ini mengatakan:
“Dan Rasulullah adalah yang terbaik di antara mereka, beliau tidak memukul”.
(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Hadits-hadits ini hendaklah menjadi pendorong munculnya rasa takut pada diri seorang muslim. Komitmen sebagian muslimin terhadap pokok-pokok ajaran Ahlus-Sunnah terkadang tidak diiringi dengan akhlak yang baik, termasuk kepada keluarga, khususnya isteri. KDRT masih sering terdengar dari rumah kita. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hal ini sebagai parameter kedudukan kita di sisi Allah. Yang tidak berakhlak baik kepada isteri bukanlah golongan terbaik dalam umat ini. Semoga Allah memberikan kita kekuatan lahir dan batin, iman dan taqwa serta mengilhami kita untuk terus memperbaiki diri.
SEMOGA BERMANFAAT. WALLAHU A’LAM






Monday, 15 August 2016

Menghidupkan Kembali Peran Masjid Sebagai Tempat Ibadah Dan Fungsi Sosial

Oleh : SUGENG WIDODO, S.HI


Sesungguhnya ada satu segmen penting yang perlu dihidupkan kembali peranan dan fungsinya dalam komunitas kita, ketika semua sendi kehidupan masyarakat, institusi, dan lembaga serta sistem sosial memburuk, yaitu masjid. Peranan masjid sangat penting dalam membentuk peradaban umat sekaligus pusat seluruh aktivitas. Mungkinkah kita mampu mengembalikan peranan dan fungsi masjid yang mulia itu sebagaimana awalnya ? apa-apa saja yang dapat kita upayakan untuk memakmurkan masjid kita, seiring perkembangan zaman dan era globalisasi serta banyaknya lembaga pranata sosial ?
Dulu Rasulullah SAW membentuk kehidupan masyarakat Islam di Makkah selama 13 tahun dengan tarbiyah iman kepada para sahabat, kemudian hijrah ke Madinah. Begitu juga ketika Rasulullah SAW membentuk masyarakat Islam yang kokoh dan terpadu yang terdiri diri atas kaum Anshar dan Muhajirin, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah memakmurkan masjid. Masjid merupakan basis pembinaan umat dan pusat seluruh aktifitas umat Islam. Pada saat itu, masjid merupakan satu-satunya pusat atau pranata sosial tunggal untuk membicarakan dan menyelesaikan berbagai masalah. Hal ini dapat diartikan bahwa segala macam kegiatan hendaknya berangkat dari masjid. Berangkat dari masjid kita akan membangun suatu komunitas masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai taqwa kepada Allah SWT. Allah SWT memperingati dalam firmanNya :
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa”(Q.S. At Taubah :108)
Masjid bagi umat Islam bukan hanya sebagai tempat beribadah kepada Allah, beri’tikaf, berdzikir dan memperbanyak amalan-amalan ibadah lainnya, melainkan sebagai sentral kegiatan seluruh umat Islam yang memiliki asal usul, nilai dan sejarah tersendiri. Masjid mempunyai nilai yang tinggi dan suci, sebagai pusat kebudayaan dan tempat menumbuhkan sebuah peradaban Islam yang tidak bisa disamakan dengan bangunan pencakar langit lainnya yang ada diatas bumi ini. Masjid adalah sarana untuk menyebarluaskan taqwa sehingga seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh ketenangan, kesejukan, kebahagiaan, dan sejenisnya, bukan sebaliknya, masjid sebagai sarana amuk masa dan kebrutalan lainnya. Dengan demikian, kewajiban kita adalah mengembalikan peran masjid sebagaimana mestinya dan menjadikan semua aktivitas sebagai kesatuan dari upaya gerakan memakmurkan masjid.
Oleh karena itu, untuk menghidupkan kembali peran dan fungsi masjid seperti sedia kala, ada satu hal yang perlu diubah yaitu opini masyarakat luas yang mengatakan bahwa masjid hanyalah untuk tempat melaksanakan shalat fardhu. Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam surat At Taubah ayat 18 :”Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah lah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(H.R. Ahmad dan At Rirmidzi)
Kita diperintahkan untuk memakmurkan masjid. Masjid yang makmur dapat juga diartikan sebagai masjid yang berhasil tumbuh menjadi sentral dinamika umat, sehingga masjid kita tidak hanya megah bangunannya, dan hanya ramai pada waktu shalat jum’at dan bulan ramadhan. Karena masjid selain sebagai tempat ibadah juga mempunyai fungsi sosial yakni sebagai sentral kegiatan seluruh umat Islam, antara lain :

Pertama ; Sebagai sarana peningkatan pendidikan umat Islam.
Pendidikan dan keimanan umat Islam dapat ditingkatkan melalui kegiatan belajar Al Qur’an, belajar bahasa arab, memahami kandungan Al Qur’an dan hadits, serta ilmu-ilmu lain yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Dan kegiatan-kegiatan tersebut dapat diselenggarakan dalam bentuk kursus, TPA, MDA, pelatihan, kajian-kajian, majelis ta’lim dan lain-alin.

Kedua ; Sebagai sarana peningkatan peran sosial umat.
Keberadaan masjid dapat dijadikan sebagai lembaga pendorong umat Islam untuk berkompetisi dalam berbagai bidang kehidupan apalagi disaat perekonomian masyarakat terpuruk dan kurang menguntungkan. Dalam beberapa penelitian yang membuktikan bahwa salah satu daya tarik masjid adalah adanya kantin dan mini market ataupun toko buku dan lain-lain, seperti contohnya dapat dilihat beberapa masjid yang berada di kota seperti bandung, jakarta, pekanbaru dan kota-kota lainnya. Oleh karena itu, pengurus masjid semestinya mampu menangkap secara baik dan menjadikannya sebagai peluang pengembangan bisnis Islam.

Ketiga ; Sebagai sarana peningkatan politik umat.
Melalui pelaksanaan shalat jamaah di masjid setiap hari akan memberikan kesadaran terhadap jamaah bahwa manusia sama dihadapan Tuhan. Dan ini akan membuat mereka semakin merasakan betapa perlunya kita menjalin kesatuan dan persatuan antar sesama karena Allah SWT semata.

Keempat ; Sebagai sarana peningkatan peran remaja masjid.
Para remaja dapat disalurkan dan diarahkan pada jalan yang benar dan bermanfaat melalui peningkatan fungsi peran remaja masjid. Dengan demikian mereka dapat terhindar dari dampak negatif globaklisasi seperti kenakalan remaja, pengedaran dan penggunaan obat-obat terlarang dan lain-lain.

Kelima : Sebagai sarana meningkatkan syi’ar agama Islam.
Syi’ar Islam dapat ditingkatkan dengan cara “menjum’atkan masjid” setiap hari. Faktanya, jumlah masjid di negeri kita semakin banyak namun jumlah jamaahnya berkurang. Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Shalat jamaah lebih baik daripada shalat sendirian dengan 27 pahala.”
Demikianlah pentingnya shalat berjamaah di masjid sampai-sampai ada ancaman bagi orang yang tidak mengindahkannya. Silaturrahim antar sesama akan terbentuk dengan shalat berjamaah di masjid. Dan dari sini kita dapat pula mengembangkan institusi masjid bagi tegaknya ukhuwah Islamiyah antar sesama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
“Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan kaki di malam gelap gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang benderang di hari kiamat.” (HR. Al Hakim dan At Tirmidzi)

Oleh karena itu, dengan menghidupkan kembali peran dan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan fungsi sosial mudah-mudahan kita mampu memelihara dan mengembangkan institusi dan lembaga suci (masjid) ketika lembaga-lembaga sosial lainnya belum maksimal peran dan fungsinya untuk menuju terbentuknya sebuah komunitas masyarakat madani.

SEMOGA BERMANFAAT. WALLAHU A’LAM.


Friday, 12 August 2016

Kriteria Memilih Calon Pasangan Hidup Menurut Islam

Oleh : SUGENG WIDODO, S.HI 


Allah  SWT telah mencipta makhlukNya dengan  berpasangan termasuklah manusia di mana manusia dari Adam AS.  Kemudian Allah ciptakan daripadanya Siti Hawa AS menjadikan berpasangan  suami isteri sehingga lahirlah keturunan yang ramai terdiri dari lelaki dan perempuan.  Kedua insane yang berlainan jenis ini saling perlu memerlukan  antara satu sama lain justeru itu timbullah bibit-bibit cinta dan perasaan  kasih sayang  ibarat anak kecil  merintih memerlukan belaian ibu yang dikasihi.  Dan seterusnya ingin hidup bersama sebagaimana makhluk yang lain yang melata di bumi Allah ini.
Dalam konteks ini, Islam telah memberi garis panduan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Bagi setiap Muslim atau Muslimah memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Agar kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya ada beberapa kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami antara lain :

KRITERIA CALON SUAMI

Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :

1.        Agama dan akhlaknya
Calon isteri hendaknya memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam hadits ini dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221).
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman : 
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26).
Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :
“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)
Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

2.   Penyayang dan banyak anak.
Calon Isteri Hendaklah seorang yang penyayang dan banyak anak. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda : Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya. Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
ü  Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan.
Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.
ü  Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.

3.    Seorang gadis.
Calon Isteri Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.” (Al Hadits)

4.    Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

KRITERIA CALON ISTERI
Adapun diantara criteria memilih calon isteri, antara lain :

1.    Agama.
Islam merupakan kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah. Sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)

2.    Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi).
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32).
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.”
(HR. Muslim).
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki : “Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.” Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Semoga dengan adanya pengetahuan yang cukup seorang laki laki dan perempuan tidak salah dalam memilih pasangan hidupnya dan setiap laki-laki dan perempuan mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang soleh dan solehah.

SEMOGA BERMANFAAT. WALLAHU A’LAM






Thursday, 11 August 2016

Khalwat Dan Ikhtilat Menurut Hukum Islam



Oleh : SUGENG WIDODO, S.HI


APA ITU KHALWAT DAN IKHTILAT ?

Khalwat secara bahasa berasal dari kata dasar khalata yaitu bercampur. Khalwat merupakan suatu bentuk pergaulan/hubungan secara bebas yang melibatkan lelaki dan perempuan yang ajnabi di tempat sunyi. Ia merupakan suatu ciri pergaulan masyarakat jahiliyyah dan juga berasaskan kepada nilai-nilai dan system hidup jahiliyyah. Bentuk pergaulan seperti ini telah ditolak oleh Islam sejak kedatangan Rasulullah SAW yang membawa system dan nilai hidup yg dipandu oleh Al-Quran dan Sunnah.

Khalwat dalam istilah fiqh adalah laki-laki menutup pintu untuk berduaan dengan istrinya. Dengan demikian, khalwat terjadi di dalam rumah. Sedang khalwat di jalan tidak disebut khalwat. Dan sama dengan rumah adalah setiap tempat yang orang lain tidak boleh masuk. Yang dimaksud perempuan lain adalah wanita yang selain istri atau mertua, dan tidak ada hubungan keluarga (mahram). Termasuk haramnya khalwat dengan tunangan sendiri sebelum terjadinya akad nikah. Hukumnya khalwat antara laki-laki dan perempuan lain adalah haram secara mutlak.

Sedangkan ikhtilat, Ulama Fiqh mendefinisikan pergaulan sebagai satu keadaan apabila lelaki dan perempuan ajnabi bertemu (melebihi dua orang) di suatu tempat dan berlaku interaksi antara mereka. Interaksi yang berlaku mungkin berupa percakapan, pandangan atau isyarat yang boleh difahami. Jika ia melibatkan lebih dari dua orang, maka ia diklasifikasikan sebagai ikhtilat. Ikhtilat bisa terjadi dimana saja baik secara terencana atau tidak.

DASAR HUKUM

Pada dasarnya tidak ada nas yang Qath’i (jelas) tentang pengharaman pergaulan antara lelaki dan perempuan, namun pengharamannya hanya berasaskan kepada hukum lain yang pada asalnya dikhususkan bagi kaum wanita kerana dalam hukum-hukum tersebut terdapat unsur-unsur pergaulan antara perempuan dan lelaki ajnabi. Hukum-hukum yang dimaksudkan ialah larangan berkhalwat dan musafir tanpa mahram, solat berjemaah di masjid bagi wanita, hukum jihad bagi wanita-wanita, hukum solat Jumaat bagi wanita dan beberapa hukum-hakam yang dikhususkan untuk wanita. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Jangan kamu dekat-dekat pada perzinaan, kerana sesungguhnya dia itu perbuatan yang kotor dan cara yang sangat tidak baik.” (Q.S. Al Isra’: 32)

Dalil di atas adalah berbentuk larangan dan haram melakukannya, juga jelas kepada kita haram mendekati zina. Manakala salah satu wasilah kepada berlakunya zina ialah khalwat yang berlaku di antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Ayat di atas mengharamkan dua hal sekaligus: (a) zina; dan (b) segala perilaku yang mendekati perbuatan zina termasuk di antaranya adalah berduaan antara dua lawan jenis yang bukan mahram yang disebut dalam istilah bahasa Arab dengan khalwat dengan yang selain mahram.

Sebagaimana kita maklumi bahwa, apabila Islam mengharamkan sesuatu, maka ditutupnyalah jalan-jalan yang akan membawa kepada perbuatan haram itu, serta mengharamkan cara apa saja serta seluruh pendahuluannya yang mungkin dapat membawa kepada perbuatan haram itu. Justeru itu pula, maka apa saja yang dapat membangkitkan seks dan membuka pintu fitnah baik oleh laki-laki atau perempuan, serta mendorong orang untuk berbuat yang keji atau paling tidak mendekatkan perbuatan yang keji itu, atau yang memberikan jalan-jalan untuk berbuat yang keji, maka Islam melarangnya demi untuk menutup jalan berbuat haram dan menjaga daripada perbuatan yang merusak. Adapun jalan-jalan yang diharamkan Islam ialah: Bersendirian dengan seorang perempuan lain. Yang dimaksud perempuan lain, iaitu: bukan isteri, bukan salah satu kerabat yang haram dikahwin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, mak saudara dan sebagainya yang insya Allah nanti akan kami bicarakan selanjutnya. Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan kedua belah pihak atau salah satunya, tetapi demi menjaga kedua-dua insan tersebut dari perasaan-perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, kerana yang ketiganya ialah syaitan.” (Riwayat Ahmad)
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya.”

Konsekuensi dari haramnya khalwat antara lain adalah keharusan seorang wanita yang hendak bepergian agar ditemani oleh mahramnya sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman pada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali ditemani oleh ayahnya, atau anaknya, atau suaminya, atau saudara kandungnya atau mahramnya yang lain.”

Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tuesday, 2 August 2016

Pernikahan Dini Menurut Negara Dan Hukum Islam


Oleh : SUGENG WIDODO, S.HI

Pernikahan merupakan salah satu syariat Islam yang bertujuan untuk melestarikan kehidupan manusia dengan cara yang diridhai Allah SWT. Oleh karena itu perlu persiapan yang matang sebelum melangkah ke jenjang pernikahan demi mewujudkan keluarga yang bahagia sakinah mawwaddah war rahmah.
Fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Bahkan zaman dulu pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb. Namun image masyarakat justru sebaliknya seiring perkembangan zaman.  Arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Isu pernikahan dini kembali marak dibicarakan sejak terjadinya pernikahan dini yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif. Di sisi lain, Syeh Puji memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas dengan dalih untuk mengader calon penerus perusahaannya.. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.

Pernikahan Dini menurut Negara   

Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun (UU Perkawinan di www.depag.go.id). Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Pernikahan Dini menurut Hukum Islam

Prinsip Hukum Islam secara umum meliputi lima yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur (Ibrahim, al Bajuri hlm. 90 vol. 2 Toha Putra, Semarang).
Dalam hal ini Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh. Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat  tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Menurut Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Karena nilai esensial pernikahan  adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan sebagai tujuan pokok pernikahan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.      
Namun, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Al Qur’an Surat At Thalaq 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan (Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari vol.9 hlm.237 Darul Kutub Ilmiah, Beirut).
Dalam kamus haditsnya Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis  dua hadis yang cukup menarik. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”. Hadis Nabi SAW kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya” (Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir hlm.210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut).
Pernikahan dini pada hakekatnya juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, dampak arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi saat ini mempengaruhi cara pacaran muda mudi saat ini, pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat, pergaulan bebas, hubungan suami istri dan hamil di luar nikah. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?  Tentunya juga harus disertai dengan legalitas Negara yaitu adanya Izin Dispensasi dari Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 7 ayat 2 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan sehingga perkawinan yang dilakukan sah menurut hukum Islam dan sah menurut Negara.
Pada dasarnya baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan berbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis. Menyikapi masalah tersebut, Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan (Izzudin Ibn Abd. Salam, Qowa’id al Ahkam hlm.90 vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beirut). Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu A’lam